Jakarta Sebelum 24 Jam

aku berjalan sepanjang atap kota
yang ada hanya potongan jiwa
melaju cepat melebihi waktu tersedia
Jakarta sekarang entah ibu kota atau tempat jagal manusia
setiap jam selalu ada yang mati sia-sia
banjir airmata kering seketika.
(J A K A R T A, status facebook Saiful Hadjar, 11/12/2012)

1446549394849

Cerpen : R Giryadi

Aku tidak tau, apakah sudah sampai Jakarta atau belum, setelah melompat dari kereta barang yang kutumpangi sebelum benar-benar berhenti di stasiun. Aku tidak tahu, apakah ini stasiun atau sarang monster. Tiba-tiba saja, orang-orang menyerbu seperti kelelawar, menawarkan jasa. Jasa apa saja!

“Kalau pingin dirampok, naik taksi saya!”

“Kalau pingin penginapan dengan jasa plus-plus, ikut saya!”

“Mau diantar kemana, Om? Lewat laut, darat, atau udara?”

“Kalau mau selamat, naik mobil pejabat. Bebas macet!”

“Kalau tidak mau kehilangan nama sia-sia, bayar asuransi dulu?”

“Aku mencari anakku yang hilang?” kataku, di antara suara riuh rendah, iklan-iklan jasa yang mengharu biru telinga.

“Mencari orang hilang? Bukan disini tempatnya? Disini emang tempat orang menghilangkan diri?”

Orang-orang tertawa riuh. Suara klenang-kleneng palang pintu berdengung-dengung. Lanjutkan membaca “Jakarta Sebelum 24 Jam”

Mengenang Kota Hilang

Karena itu saya memang tidak membatasi gaya. Ada banyak cara cerpen ini lahir begitu saja, tanpa harus memikirkan gaya penulisan. Tetapi secara umum, gaya penulisan itu akan mengikuti roh cerpen itu sendiri.

cover-mengenang-alternatif-2016-fbAkhir-akhir ini saya jarang mengirim cerpen ke media massa yang menyediakan ruang sastra. Tak banyak alasan, selain malas mengirim. Alasan kerennya, saya ingin menulis untuk menulis itu saja. Tetapi kalau dionceki, sebenarnya soal utamanya adalah lambatnya saya menulis cerpen. Selain itu, mungkin tema-tema dan gaya penulisan saya sudah tak secanggih penulis-penulis cerpen saat ini yang jumlahnya berjibum.

Tetapi memang terkadang menulis cerpen ke media massa, ada semacam pergulatan, yang terkadang ada di luar kepentingan sastra itu sendiri. Betapa tidak, seorang penulis, harus punya strategi khusus untuk mengirim karya-karyanya. Selain itu seorang penulis setidaknya tahu apa dan bagaimana visi media yang sedang disasar cerpennya. Belum lagi harus mampu menebak selera redaktur sastra. Terpaksa, seorang penulis, untuk menulis cerita saja, harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang tidak langsung, telah membelenggu dirinya. Namun memang ini bukan sebuah pembenaran, pada akhirnya memang cerpen terbaiklah yang bisa diterima di media massa, apalagi media massa itu telah menjadi mainstream. Lanjutkan membaca “Mengenang Kota Hilang”

Parabola

Suara Mbah Modin terdengar sayup. Sementara orang-orang kampung masih asyik nonton TV di rumah juragan Parto, lewat antena parabola.

Cerpen R Giryadi

Daun asem kemlitir, gogrog diterjang angin sore. Burung bangau melintas di langit. Cahaya jingga menyaput cakrawala. Suara tarhim sayup-sayup terdengar dari corong surau.

Surau di pinggir kampung itu masih tampak sepi. Hanya Mbah Modin yang sibuk sendirian membersihkan teras surau, menyalakan listrik, dan menimba air wudu.

“Sendirian saja, Mbah,”tanya Ansori, murid ngajinya yang setia.

“Hari menjelang magrib,” lanjutnya sambil menyiapkan tikar untuk salat jamaah.

“Saya tahu, tetapi mereka seolah semakin tuli pendengarannya. Kamu tahu kemana mereka selama ini,” tanya Mbah Modin, pada Ansori. Lanjutkan membaca “Parabola”

Membuka dan Menutup Cerpen

ini cerita saya bagaimana cara membuka dan menutup cerpen. pada dasarnya membuka dan menutup cerpen mempunyai bobot kesulitan yang sama.

(sebuah cerita proses kreatif)

Esai R Giryadi

 

Membuka dan menutup cerita pendek (cerpen) adalah pekerjaan yang sangat sulit. Setidaknya keduanya memiliki bobot ‘kesulitan’ yang sama, meskipun ada syarat yang membedakan saat akan membuka cerita dan menutup cerita.

Membuka cerita, adalah upaya memberikan daya tarik agar pembaca mudah masuk dalam cerita. Sementara menutup cerita adalah memberikan kesan yang mendalam pada cerita yang dititipkan pada nasib tokoh, sehingga pembaca mendapatkan kesan pada cerita yang dibaca.

Banyak cara untuk membuka cerita pendek. Ada yang memulai dengan penggambaran setting, penggambaran tokoh, memaparkan pokok persoalan, atau memberi efek kejut, dengan memulai pada konflik atau pokok permasalahan. Semua bergantung kebutuhan cerita yang akan dibangun. Lanjutkan membaca “Membuka dan Menutup Cerpen”

Monolog dan Manifestasi Seorang Aktor

Monolog merupakan permenungan terhadap peristiwa yang sedang menimpa sang tokoh. Dalam drama tragedy misalnya, sang tokoh biasanya berujar sendiri terhadap nasib yang menimpanya.

poster bingkai kanvas kosong fbEsai R Giryadi

Akhir-akhir ini Surabaya sedang demam monolog. Paling tidak dalam catatan saya, sepanjang awal tahun 2005 ini sudah ada tiga sampai empat pertunjukan monolog. Pertama R. Giryadi (Retorika Lelaki Tua), M.Azis Manna (Alibi), Whani Darmawan- actor Jogjakarta (Matinya Seorang Pejuang), dan Johan Choirul Jaman (Reuni Para Nabi). Belum lagi pada awal April ini Dewan Kesenian Surabaya (DKS), mengadakan lomba monolog dengan jumlah peserta lebih dari 30 orang. Semoga yang terakhir ini bukan gejala lomba saja dengan iming-iming sejumlah uang.

Terlepas dari itu, perlu ada semacam rekontruksi kembali tentang pemahamam monolog, yang masih terkesan simpang siur pengertiannya. Sementara orang, ada yang menilai monolog sama dengan memainkan naskah dengan berbagai peran (one man show). Sehingga dalam monolog actor dituntut bisa memperagakan, berbagai karakter yang diinginkan dalam naskah itu. Lanjutkan membaca “Monolog dan Manifestasi Seorang Aktor”

Pemiluan

Jagad kita sudah miring. Belum tancep kayon, orang-orang yang benar dibungkam. Kalau membahayakan dibunuh. Jagad kita sudah sinting. Orang yang eling, dianggap ngaling-ngalingi jalan. Orang yang benar dikira pembuat onar. Orang yang salah malah jadi sesembah. Hidup kita sudah semakin salah kaprah.

Umbul  wayang 36 AWayang kampung-an
(sebuah drama pemilu yang tidak jujur dan adil)
Oleh : R Giryadi
Pemain :
DALANG
WARAK (wakil rakyat)
BLORENG (keamanan)
SPIKER
JULING
ORANG 1
ORANG 2
ORANG 3
ORANG- ORANG (Penonton)
BABAK I
 
(Seorang dalang dengan pakaian pating gedembel, persis seperti gembel, datang tertatih-tatih, membawa gunungan (kayon))
  1. Dalang
Jagad, jagad, jagad, jaged, joged, beerjoged-joged. Karena ulah manusia bagai uler keket yang kepet, akhirnya makan setempet. Mesti sepet, tetapi nekat disikat. Dasaaar kepet! Jagad, memang sedang berjoged. Manusia tidak penah bisa diam-pet (–meksa–). Orang-orang omyeng. Kepala poseng. Memikirkan komeng, yang lagi meleng nabrak si Eneng. Eh, dalang kok blakrak kayak orang senteng (eh, maksudnya sinting).
Emang, jagad sudah senting. Tak ada yang benar. Semuanya salah, alias meleng. Eh, jagad-jagad, joged, berjoged-joged. Kini semua orang berjoged-joged, karena goyang itik, Zaskia Gotik, sudah mewabah, menjangkiti laki-laki impoten. Eh..eh..eh..
Tak hanya orang-orang kecil saja yang berjoged, para pamong praja juga bergoyang ria kayak Caesar yang ketiban pulung YKS—Yuk Kita Sedeng—.
Hi..hi..hi..jagad sedang oleng. Pikiran orang sudah pada sedeng. Tak adak yang kenceng. Semua kayak celeng. Tak bisa berbelok. Maunya yang lurus saja. Menabraki benda yang merintanginya. Tak perduli teman, lawan, semua disikat, demi kehidupan yang nikmat. Orang kok, tidak dinamis. Monoton. Dan tak suka kemajuan. Bagaimana mau maju? Ada orang pinter sedikit, ditindas. Ada orang berani sedikit, digencet. Punya jabatan sedikit, korupsi. Punya kekuasaan sedikit, menindas. Bagaimana yang bodoh-bodoh ini.
Oh..oh..oh..dunia sedang roboh. Tak ada yang bisa dibangun kembali. Dunia sudah berkeping-keping. Semua orang pada main kuda lumping, makan semprong beling, sampai kepala pening. Eling, eling, eling. (berputar-putar)
Siapa yang harus dielingkan? Siapa yang harus kelingan? Siapa yang harus mengelingkan? Siapa yang harus eling? Siapa? Siapa? Sapa? Who is? Oh-oh? Tak ada yang bisa menjawab? Nol berarti nilainya. Nol itu berarti kosong. Kosong itu berarti tidak ada. Kalau tidak ada yang dielingkan, bagaimana lagi negara ini bisa maju.
Rakyatnya mau sak karepe dhewe. Pemimpinnya juga sak karepe dhewe. Wis-wis ini negeri apa. Kok rakyat dan pemimpin kok jalan sendiri-sendiri. Tidak sejalan, sak karepe dhewe. Negara apa ini. Negara kok tidak punya aturan main. Pemimpinnya bebas nginjak rakyatnya sendiri. Korupsi sak kuate. Duduk di kekuasaannya sak isine. Negeri kok tidak punya malu. Emangnya punya kemaluan?
Jagad-jagad. Orang kok lebih demen YKS dari ILC. Orang kok suka sinetron dari pada pidato pemimpinnya. Orang kok suka memilih pak RT dari pada milih wakil-wakilnya di DPR. Ini gimana?
(Tiba-tiba, suara gaduh. Keadaan kacau. Orang berjerit-jerit. Pakeliran hampir roboh. Orang-orang lari pontang-panting. Orang-orang berbondong-bondong membawa poster)

Lanjutkan membaca “Pemiluan”

Bingkai Kanvas Kosong

Memang benar kata Tuan, kalau pingin kaya ya jadi pengusaha saja. Jangan menjadi seniman. Tetapi bukankah Tuan yang mendorong saya jadi seniman. Melukis…melukis apa saja, dan Tuan yang membayar semua lukisan saya ini.

 

lidi oke 1Monolog R Giryadi

Sebuah ruangan studio lukis. Kanvas kosong, bergelantungan di mana-mana. Seseorang diam sedang melukis.

  1. Seseorang

(Melukis. Gagal. Merokok. Melukis lagi. Gagal lagi. Begitu seterusnya. Tiba-tiba berhenti melukis. Beranjak mengambil minum. Menyalakan rokok. Beberapa sedotan dimatikan. Dinyalakan lagi. Tapi kemudian mematikan lagi)

Kalau saja Tuan tidak menawari saya, saya pasti tidak ada disini. Kalau saja gedung ini tidak boleh digunakan, apa daya, saya tidak bisa apa-apa. Atau barangkali tidak pameran sama sekali. Tetapi begitulah nasib. Untung tak dapat ditolak, sebenarnya saya sudah pingin pergi dari dunia ini, tetapi ada saja yang mendorong-dorong, agar saya kembali. Ada-ada saja. Padahal ya tidak ada apa-apanya. Kesenian kok dibuat gratisan, kapan sugih-nya. Lanjutkan membaca “Bingkai Kanvas Kosong”

Kepala Tuan Presiden

Hari masih pagi, ketika Tuan Pre, -begitulah Tuan Presiden dipanggil- berteriak kencang memanggil Dasam, ajudannya. Dasam ajudan setia Tuan Pre itu segera lari-lari kecil menghadap tuannya. Tuannya sedang duduk di depan cermin. Ia sedang kebingungan, karen wajahnya sudah malih rupa.

Illustration-by-Paweł-Jońca-625356Kepala Tuan Presiden

Cerpen R Giryadi

Hari masih pagi, ketika Tuan Pre, -begitulah Tuan Presiden dipanggil- berteriak kencang memanggil Dasam, ajudannya. Dasam ajudan setia Tuan Pre itu segera lari-lari kecil menghadap tuannya. Tuannya sedang duduk di depan cermin. Ia sedang kebingungan, karen wajahnya sudah malih rupa.

“Kamu tau, siapa yang mengganti kepala saya?” tanya Tuan Pre, ketika Dasam sudah berada di sampingnya.

“La itu, masih nangkring di badan tuan?”

“Tadi malam saya pakai kepala gandrung,” kata Tuan Pre

“Wah saya kurang tau, Tuan. Mungkin kucing garong yang mengganti?”

“Sontoloyo! Saya jadi kehilangan mimpi gandrung bersama Sinta,” sergah Tuan Pre.

“Tapi hari ini saatnya pakai kepala nomer 33, Tuan,” kata Dasam.

“Mau blusukan ke mana lagi?” kata Tuan Pre

“Kampung-kampung kumuh, melihat-lihat rakyat yang sakit dan miskin?!” jawab Dasam, sembari membuka-buka catatan harian di gadget-nya. Lanjutkan membaca “Kepala Tuan Presiden”

Mei, Perempuan yang Menunggu

Meski kurang bisa melihat jalan, selama bertahun-tahun, Mei tak pernah meminta tolong diantar sampai tempat yang dituju. Tetapi memang terkadang ada orang yang basa-basi ingin menolongnya, tetapi Mei selalu menolak.


anakku lahir dari rahim televisiMei, Perempuan yang Menunggu

Cerpen  R Giryadi

Mei berjalan merambati tembok-tembok kusam, berlumut, seperti bekas reruntuhan perang. Ia berjalan sangat lambat. Meski begitu, ia sangat paham jalan yang dilalui saban hari.

Meski kurang bisa melihat jalan, selama bertahun-tahun, Mei tak pernah meminta tolong diantar sampai tempat yang dituju. Tetapi memang terkadang ada orang yang basa-basi ingin menolongnya, tetapi Mei selalu menolak. Baginya berjalan digandeng atau tidak, ia tetaplah tidak pernah bisa melihat dengan jelas jalan yang dilaluinya. Lanjutkan membaca “Mei, Perempuan yang Menunggu”

Mengenang Kota Hilang

Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan mengais-kais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu hati.

4902146982_263cf38cee_z

Mengenang Kota Hilang

Cerpen R Giryadi

Maka lumpurpun datang membasuh wajah kota itu.

(Hasan Aspahani, 2006)

***

Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya, ketika perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tau arti penderitaan kami.

Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku?. Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.

Akupun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya. Lanjutkan membaca “Mengenang Kota Hilang”