Ketika Sukir Bisa Membaca

Cerpen R Giryadi

Hidup di gang sempit, para tetangga seperti punya alat perekam yang canggih. Kupingnya seperti alat pendeteksi, matanya seperti hidencamera, yang setiap gerak gerik kita, semua terekam. Otak mereka seperti hardisc yang mampu menyimpan miliaran data. Sekali tekan tombol : mulut mengoperasikan data itu menjadi gosip yang berkepanjangan.

ketika sukir bisa membaca-ilustrasi Dellia Phut
ilustrasi Keith Negley

Cerpen R Giryadi

Hidup di gang sempit, para tetangga seperti punya alat perekam yang canggih. Kupingnya seperti alat pendeteksi, matanya seperti hidencamera, yang setiap gerak gerik kita, semua terekam. Otak mereka seperti hardisc yang mampu menyimpan miliaran data. Sekali tekan tombol : mulut mengoperasikan data itu menjadi gosip yang berkepanjangan.

Hidup di gang sempit memang tidak ada rahasia. Kita seperti hidup di ruang kaca. Semua polah tingkah kita akan segera bisa diketahui dari gang satu ke gang lain, kemudian merebak bagai gelombang radio yang dalam sepersekian detik, kabar itu bisa diterima ke pendengar terjauh sekalipun.

Hidup di gang sempit, semua orang boleh mengetahui apa yang kami miliki dan tidak kami miliki. Hidup di gang sempit, ruang hidup kita memang benar-benar sempit. Mata, telinga, dan otak tetangga ada disisi kita, menempel di dinding, seperti lumut yang menggerogoti tembok.

Dan kali ini lumut itu menggerogoti tembok kami. Lanjutkan membaca “Ketika Sukir Bisa Membaca”

Drama Pendek Pembunuhan Godot

Kabar datangnya seorang yang akan memenggal kepalaku, sebenarnya sudah aku dengar lama. Tetapi, sebagaimana biasa, kabar itu pasang surut, tidak jelas kebenarannya.

Terkadang kabar itu begitu santer terdengar. Tapi juga terkadang menghilang begitu saja.

Cerpen R Giryadi

drama pendek-pinterest
illustrasi pinterest

Kabar datangnya seorang yang akan memenggal kepalaku, sebenarnya sudah aku dengar lama. Tetapi, sebagaimana biasa, kabar itu pasang surut, tidak jelas kebenarannya.

 

Terkadang kabar itu begitu santer terdengar. Tapi juga terkadang menghilang begitu saja.

Meski kabar kedatangannya semakin surut, aku tetap waspada. Seseorang yang berhati jahat, punya sejuta jalan untuk membunuh musuhnya. Dan hari-hariku, seperti berjalan di labirin yang penuh dengan jebakan.

“Inilah bagian perjalanan hidupku yang menegangkan,” kataku pada seorang teman yang matanya agak juling.

“Apa kamu butuh bantuan?” katanya tak menyakinkan. Aku geleng kepala. Karena bisa jadi ini bagian dari jebakan.

Sejak muncul kabar itu, aku menjadi manusia perasa dan menyendiri. Tak ada suasana yang menentramkanku. Seperti dalam labirin, setiap tikungan, perempatan, pertigaan adalah pertanyaan dan kecurigaan. Hidup menjadi penuh kecurigaan. Untuk menentramkan batin, aku sengkelit belati di pinggang. Lanjutkan membaca “Drama Pendek Pembunuhan Godot”

Membaca Cerpen Pandan

Membaca cerpen-cerpen Pandan, dalam buku ini, kita tidak akan mendapati dunia anak yang gembira, main-main, lucu, riang, dan lain sebagainya. Tetapi cerpen-cerpen Pandan menyuguhkan dunia lain yang jauh dari suasana ‘kekanakan’.

cover pandan 2 cdrPengantar R Giryadi

Membaca cerpen-cerpen Pandan, dalam buku ini, kita tidak akan mendapati dunia anak yang gembira, main-main, lucu, riang, dan lain sebagainya. Tetapi cerpen-cerpen Pandan menyuguhkan dunia lain yang jauh dari suasana ‘kekanakan’.

Pandan yang masih berusia anak-anak, telah berusaha keras menyajikan tema-tema sosial tetapi bertautan dengan dunianya sebagai anak-anak. Cerpen-cerpennya menggarap dunia sosial lingkunganya, baik sebagai anak maupun sebagai siswa, bahkan sebagai bagian dari lingkungannya.

Apakah ini salah?

Tentu kalau kita berukuran secara normatif pada ciri-ciri sastra anak, maka kita tidak akan mendapatkan apa yang diharapkan pada difinisi sastra anak. Di sini, Pandan, mencoba ‘berpikir’ dengan cara orang dewasa (adult literary), sehingga cerpen-cerpennya terasa memiliki bobot yang lain, dibandingkan dengan cerita anak pada umumnya.

Kepekaan Pandan pada masalah-masalah sosial, tentu tak patut disalahkan. Justru disitulah ‘nilai lebih’, cerita-cerita yang ditulis Pandan. Cerita anak-anak dengan banyak menyajikan masalah-masalah sosial dan tidak sekedar menyajikan imajinasi-majinasi sebagaimana kekhasan dunia sastra anak.

Dengan kepekaannya, Pandan, ingin menyuguhkan dunia yang tidak kanak-kanak lagi. Dalam cerita : Sahabat Tanpa Nama, terlihat sekali, Pandan tidak ingin larut dalam dunia kekanakan yang cenderung bermain-main, tetapi dunia anak dengan sisi yang ‘gelap’, terpinggirkan, dan kalah.

Cerpen dengan tema yang sama juga terlihat pada, “Dewi Bulan”. Cerpen ini berkisah tentang, seorang anak yang kehilangan orang tuanya. Ternyata, anak jalanan ini, adalah anak kembar. Setiap hari ia berharap bisa membeli baju lebaran dengan mengumpulkan uang mengamen. Pada saat jelang lebaran, ia bertemu dengan kembarannya.

Cerpen-cerpen lain yang digarap dengan agak berasa misteri, menampakan kekuatan Pandan dalam menyusun cerita.

Begitu juga pada cerpen, Begitu juga pada cerpen “Sahabat dari Senja”, menyajikan suasana petualangan penuh misteri. Cerpen ini mengingatkan kisah empat sekawan karya Enid Bilyon, yang selalu mengisahkan petualangan empat remaja. Cerpen Sahabat dari Senja, petualangan tokoh ‘aku’ bersama kawan-kawannya, yang mampu membongkar kasus penyekapan anak, oleh ayahnya sendiri, karena malu memiliki anak berkebutuhan khusus. Tema yang sama dengan gaya bercerita yang sama tampak pada cerpen: Tangisan Surya, Buku harian Warna Merah Jambu, Salah Sangka.

Cerita yang tampak lebih dewasa adalah pada cerita; Surat dari Gunung Selurung, Sepeda Butut, Ode untuk Ibu, Cerita ini menyajikan tema sosial yang sangat kuat.

Cerpen Surat dari Gunung Selurung, misalnya, menggambarkan harapan seorang anak, yang telah tinggal di sebuah kota, terhadap kota kecilnya, yang memiliki seorang pahlawan yang-mungkin- sudah dilupakan banyak orang. Dengan teknik kisahan ulang-alik, Pandan, berhasil memaparkan dunia masalalu dan kekinian, yang silap dari pemahaman sejarah.

Cerpen Sepeda Butut, juga memiliki cara kisahan yang sama. Pandan seolah juga ingin menekankan betapa penting, mengetahui dan memahami sejarah. Lewat sepeda butut, tinggalan kakek, Pandan ingin memaparkan, di balik sesuatu yang sudah lampau, ada nilai yang patut digali dan bahkan diajarkan ulang.

Ode untuk Ibu, punya dasar cerita, kecintaan anak pada seorang ibu. Cerita ini memiliki, suasana kecintaan pada ibu yang hampir tanpa batas. Ode untuk Ibu, menggambarkan pengorbanan anak-anak pengamen pada ibunya. Anak-anaknya rela mendonorkan matanya, pada ibunya, agar ia –masih- bisa melihat tangis ibu. Sungguh pengorbanan –anak kecil- yang sangat luar biasa.

Pandan berupaya menyisipkan harapannya, dalam cerita-ceria yang digarapnya. Amanat yang diharapkan Pandan, sebagai penulis, terselip di antara cerita-cerita yang ditulisnya. Sebagai penulis cilik, Pandan, tetaplah menempatkan diri sebagai dirinya. Karena itu dalam menyelesaikan cerita-ceritanya, Pandan, tak pernah mengakhiri dengan sad ending. Semua berakhir dengan kegembiraan.

Sidoarjo, Oktober 2017

R Giryadi

(Penulis)

Naskah Drama Komunitas Tombo Ati

Naskah drama adalah salah satu wujud, ekspresi teater dalam bentuk teks. Di dalamnya terdapat lakuan yang dibayangkan sebagai bentuk teater. Karena itu, naskah drama tidak saja sekadar acuan tetapi di dalamnya ada ‘idealisasi teater’ yang dibayangkan. Seoarang penulis naskah drama, sudah mempersiapkan diri, bagaimana teaternya akan berlangsung.

 

cover drama kta fbPengantar R Giryadi

Naskah drama adalah salah satu wujud, ekspresi teater dalam bentuk teks. Di dalamnya terdapat lakuan yang dibayangkan sebagai bentuk teater. Karena itu, naskah drama tidak saja sekadar acuan tetapi di dalamnya ada ‘idealisasi teater’ yang dibayangkan. Seoarang penulis naskah drama, sudah mempersiapkan diri, bagaimana teaternya akan berlangsung.

Karena itu, bagi kelompok teater tertentu, naskah lakon bisa jadi salah satu materi utama yang berperan sebelum sampai ke tangan para sutradara dan para aktor. Naskah dapat berdiri sendiri sebagai karya sastra (bahan bacaan), ia berdiri sebagai teks yang bebas ditafsir oleh pembacanya. Maka dalam hal ini kita bisa baca naskah-naskah Arifin C Noer, Putu Wijaya, N Riantiarno, dll tidak saja bisa dibayangkan bentuk teaternya, tetapi sekaligus, bisa menikmati naskah tersebut sebagai teks sastra.

Memang, tradisi teater kita, tidak memiliki tradisi teks drama. Teater-teater kita berangkat dari upacara dan tradisi tutur. Hal ini yang kemudian, di awal-awal masa pengaruh teater modern, kemudian terjadi ‘alkulturasi teks lakon’ kedalam bentuk-bentuk teater tradisional kita. Lanjutkan membaca “Naskah Drama Komunitas Tombo Ati”

Teater Tanpa Panggung

Akhudiat adalah salah satu ‘avant garde’ dalam dunia penulisan naskah drama. Mengapa demikian, Akhudiat berani mendobrak tradisi sastra drama yang berkembang sebelum tahun 70-an. Dalam catatan Jakob Sumardjo (1992), isu avant garde teater seiring dengan pertumbuhan kegiatan teater yang didukung oleh Taman Ismail Marzuki yang berdiri 1968. Isu avant garde ditandai dengan munculnya kelompok teater mutahir, memasuki dasawarsa 70 an. Salah satu penekanan dari isu itu adalah adanya sikap ‘anti sastra’.

akhudiat3
AKHUDIAT

Menafsir Akhudiat

Esai ; R Giryadi

Ngaji, sekolah, main layangan di kuburan, terkadang bersamaan Mbah Modin baca talqin di atas kubur baru, kedai buku, sandiwara radio, bioskop, pasar malam, pentas GNI, dan malam-malam Rogojampi—mampir dalam proses kreatif saya….. (5 Lakon Akhudiat, Pagan Press, 2014)

Akhudiat adalah salah satu ‘avant garde’ dalam dunia penulisan naskah drama. Mengapa demikian, Akhudiat berani mendobrak tradisi sastra drama yang berkembang sebelum tahun 70-an. Dalam catatan Jakob Sumardjo (1992), isu avant garde teater seiring dengan pertumbuhan kegiatan teater yang didukung oleh Taman Ismail Marzuki yang berdiri 1968. Isu avant garde ditandai dengan munculnya kelompok teater mutahir, memasuki dasawarsa 70 an. Salah satu penekanan dari isu itu adalah adanya sikap ‘anti sastra’.

Akhudiat adalah bagian dari kondisi mutahir teater Indonesia yang ditandai dengan ketidak percayaan pada sastra drama. Kemutahiran teater Indonesia ditandai dengan ketaktergantuangnnya pada sastra drama. Naskah teater bukanlah untuk dibaca, tetapi untuk dimainkan. Kerena itu, naskah baru disebut naskah jadi, kalau sudah dipentaskan.

Dimasa mutahir inilah muncul naskah-naskah yang berbeda dari naskah-naskah dasawarsa sebelumnya yang lebih menekankan pada stuktur dramatik yang ketat dengan karakter tokoh yang jelas. Namun pada periode mutahir, naskah bukanlah barang jadi. Ia dianggap naskah, kalau naskah itu telah menjadi pertunjukan.

Ciri lain dari kemutahiran naskah teater tahun 70 an adalah tidak menarik untuk dibaca sebagai teks sastra. Drama –drama ini tidak memiliki cerita, anti plot, non linear, cerita tidak dimulai dari A ke Z, naskah tidak terdiri dari sebuah sebab akibat. Drama-drama masa itu juga anti watak, identitas tokoh tidak jelas, dan tidak ada perkembangan watak yang jelas. Lanjutkan membaca “Teater Tanpa Panggung”

Lakon Kematian Kodrat

Partiwi meronta-ronta ketika pak Modin memberikan doa, mengatar pemberangkatan jenazah Kodrat. Mbah Cuthik menenangkan Partiwi yang kesurupan. Mbah Cuthik memeperkan tapih ke wajah Partiwi. Tetapi, Partiwi tak berhenti meronta-ronta. Ia tak rela suaminya dikubur hari ini.

f3337e2659e35b57441d3a3c150d196dCerpen R Giryadi

Partiwi meronta-ronta ketika pak Modin memberikan doa, mengatar pemberangkatan jenazah Kodrat. Mbah Cuthik menenangkan Partiwi yang kesurupan. Mbah Cuthik memeperkan tapih ke wajah Partiwi. Tetapi, Partiwi tak berhenti meronta-ronta. Ia tak rela suaminya dikubur hari ini.

“Maafkan aku, Cak. Maafkan. Dia tidak mati. Dia belum mati!” serunya di tengah hening cipta para pelayat.

“Sudahlah relakan. Biar dia tenang di kuburan,” kata Yu Pon dengan nada bergetar. Kemudian ia menyapu latar sampai di ujung gang dengan sapu lidi, mulutnya komat-kamit merapat doa; “padhanga dalane, jembara kubure…”

Keranda jenazah bergerak. Partiwi histeris. Tangan menggapai-gapai, mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata.

Para pelayat itu seperti sekawanan burung kondor, menggondol jasad Kodrat melesat ke kuburan. Keringat Partiwi menetes-netes. Matanya yang merah saga, terbayang Sukidi, jejaka tua dan pembual, yang membuat remuk rumah tangganya. Lanjutkan membaca “Lakon Kematian Kodrat”

Telepon Masa Depan

Tak ada yang tahu alasannya, mengapa lelaki itu sering datang ke telepon umum yang mangkrak itu. Yang sering diketahui orang-orang, lelaki itu sering seperti sedang menelepon. Orang-orang juga tidak tahu, lelaki itu sedang menelepon siapa. Yang diketahui banyak orang yang berada di situ, lelaki itu seperti sedang menelepon dengan berbagai ekspresi.

d24cdc612ae4be1c8137b9ab267f3cf0

Cerpen R Giryadi

 Di sebuah kafe –bayangkan saja warung kopi-, suatu malam, aku bertemu Kodrat. Seperti yang dijanjikan, ia akan datang tepat waktu. Benar juga, tepat pukul 20.00 ia sudah sampai di kafe yang ia janjikan. Dan aku yang datang lebih awal segera menyambutnya. Tentu dengan basa basi, karena kami adalah karib yang sering berjumpa.

Perjumpaan malam ini adalah perjumpaan yang kesekian ratus kali. Kesekian ratus pula, kawanku yang satu ini hanya ingin mendengar cerita dariku. Dan secangkir coffee late, kentang goreng, atau burger ‘alakadarnya’ ia pesan, sebagai ‘bayaran’ atas ceritaku. Kami sengaja memilih duduk di sudut kafe yang tidak terlalu ramai. Lanjutkan membaca “Telepon Masa Depan”

puisi

Puisi-puisi
R Giryadi

karena membaca puisi tak harus hari sabtu dan minggu. karena membaca puisi tak harus di koran atau buku puisi.. 😀

OBITUARI JADAH

Puisi: R Giryadi

biarlah anjing-anjing menggonggong
perjalanan ini teramat suci untuk sekadar
meredakan ketakutan kita atas sejarah
yang mengekal pada batu-batu
atau menjadi batang-batang kayu
tempat kita rajah pepatah-pepatah lama
meski pada daun pisang itu bau wanginya
menembus tulang-tulang dan harapan
demi harapan menjadi pintu utama
sebelum kita menyelubungkan tubuh
pada tanah-tanah tandus tempat
hara memamah sisa hidup.

biarlah kita menjadi santapan
perjalanan ini teramat suci untuk dibenci
mari kita nikmati gurihnya saja
perjalanan ini masih terasa nikmat
meski tubuh kita terasa kelu
dan palu-palu itu terus mendedah
mengeja sejarah sendiri tentang perjalanan
tubuh kita yang terasa pejal
dan kita tak bisa mengurai satu demi satu
dari mana asal muasal cita rasa ini
sebelum kita kembali pada kitab-kitab
yang ditulis para pejalan.

mari kita gelar tikar pandan ini
kita sambut para tetamu
dengan sepethuk dua pethuk oleh-oleh
di sanalah kita titipkan catatan-catatan
yang mengharu biru perjalanan ini
lalu lihatlah sungai-sungai deras membanjir
menggenangi rumah-rumah
dan tiba-tiba kita teringat tentang anjing
teringat tentang kitab-kitab kuno
di dalamnya tertulis nama-nama
tapi kita lupa menambal kembali
ingatan kita yang tergadai.

2016

MADUMONGSO

Puisi: R Giryadi
pada setetes madu itu, mari kita cecap ingatan
tentang musim yang begitu panjang menjerat kita
dalam tungku atau dalam setoples rasa sakit
sebelum semua berakhir dimangsa waktu dan jalan-jalan
kembali sepi.

lalu kita mulai membuka tabir pada ujungnya
hidup berasa manisnya madu
kita hikmatkan jalan-jalan lempeng
dan kita lupa pada sisa-sisa yang membekas
pada kertas tempat kita mencatat perjalanan.

tetapi kita selalu percaya itulah ingatan kita
meski dalam segulungnya hanya ada satu cita rasa
kita melupakan butir demi butir air mata
dan percakapan-percakapan yang tak tuntas
pada piring itu kita tumpahkan rasa rumangsa.

2016

OPAK GAMBIR

Puisi: R Giryadi
cinta itu terasa kering
tetapi gurih dan renyahnya menambah cita rasa kangen
ada sisa-sisa yang membuncah dari mulutnya yang girang
tetapi siapa yang mau menyelematkan rempah-rempah
cinta yang garing itu?

kesetiaan itu bijih gambir
pada masa balikmu kau akan nikmati getirnya gambir
dan sepatnya sirih meski di pundakmu berselempang sampur
menguji kesetian para kesatria tampan
menyambut sampurmu penuh nafsu.

cinta itu seperti gagak
sembunyi pada rimbun beringin lalu deru abu pembakaran
terasa melangit pada sisa peperangan yang belum usai
cintanya seperti alang-alang merimbun pada kemarau
dan berhamburanlah beribu tepung
menghunus perlawanan.

luweng itu ada dua jalan api
jalan yang membakar dan jalan yang menghangatkan
kesejatian kayu ia rela menjadi abu
lalu pergi sebagaimana asap membumbung tak bersisa
ciumlah aroma kayu manis karena dalam cinta sejati
tak ada pelamis.
2016

 

Kali Mas, Kali Jagir

(Mikir Mas, aja kenthir..)
Cerpen R Giryadi

Setelah ludruk cak Sodik di Wonokromo -tak jauh dari terminal Joyoboyo- tak lagi nggedhong, Kodrat hanya seperti patung kota yang tak terurus. Saban hari pekerjaannya hanya duduk di atas becak yang disewa dari Ji Mukti (Haji Mukti), juragan becak yang tinggal di Pulo Wonokromo.

kali-jagir

Setelah ludruk cak Sodik di Wonokromo -tak jauh dari terminal Joyoboyo- tak lagi nggedhong, Kodrat hanya seperti patung kota yang tak terurus. Saban hari pekerjaannya hanya duduk di atas becak yang disewa dari Ji Mukti (Haji Mukti), juragan becak yang tinggal di Pulo Wonokromo. Saban hari, kalau tidak hanya jadi patung di atas becak, di sudut jalan Pulo Wonokromo, ia mendem di dekat bantaran kali Jagir.

Dulu sewaktu masih ada ludruk, Kodrat masih bisa jualan rokok, cokrik, dan abonemen becak. Biasanya, jelang subuh, Wartini (Wartono) si tandak ludruk minta diantar pulang ke Bendulmrisi. Tapi tak jarang, kalau Wartini tidak nandak,  ia tak terima bayaran sepeser pun. Meski begitu, Kodrat mau saja.

Kalau Wartini sedang dapat ‘rezeki’, Kodrat dapat persenen, 5-10 ribu, bayar becaknya 4 ribu. Total bisa 9 ribu atau 14 ribu. Uang sebanyak itu, biasanya habis buat mel-mel-an dengan kawan-kawannya seprofesi, beli cokrik di Karah. Kalau sudah terkumpul, biasanya mereka nyokrik di becak, sambil nunggu penumpang.

Tetapi, sekarang, nunggu penumpang seperti nunggu durian runtuh. Apalagi sejak terminal bus pindah ke Bungurasih, ditamabah lagi semakin banyak orang punya sepeda motor, becaknya hanya jadi pajangan di pojok pertigaan Pulo Wonokromo. Sehari dapat satu penumpang seperti dapat anugerah yang tiada tara. Pun begitu, Kodrat percaya dengan rezeki. Ia tak pernah beralih pekerjaan dari tukang becak, meski saban hari ia nunggak uang sewa becak.

Pernah suatu hari ia ditawari pekerjaan oleh orang misterius. Tapi ia tidak mau menerima. Padahal pekerjaannya sangat mudah. Saban hari ia disuruh ‘melapor’, siapa saja teman-temannya yang suka minum cokrik. Terus di mana saja tempat penjualan cokrik. Hanya itu. Bayarannya per laporan.

Kodrat menolak. Alasannya sederhana. Yang dilaporkan adalah kawan-kawannya sendiri. Dan lebih penting, ia sendiri suka cokrik.

Kon iku longor. Begitu kok tidak diterima. Seharusnya diterima, uangnya buat mabok bareng,” kata Sokran, ketika mendengar cerita Kodrat.

“Hellleh…nggabluk. Bohong. Kamu mabok ta…?!” Timin, preman pasar maling, tidak percaya dengan cerita Kodrat. Ia menganggap cerita Kodrat hanya igauannya ketika mabok.

Memang, sejak, ludruk cak Sodik, bahkan sejak cak Sodik sudah tiada, kondisinya memang malik grembyang. Wartini sudah tak ketahuan rimbanya. Kata Timin, Wartini sudah alih profesi.

“Sudah sering mangkal di Irba…” kata Timin, ketika tegakan terakhir membasahi kerongkongannya.

Kodrat sedikit terprovokasi.

“Hhhhh..kamu ngesiri Wartini…?” ledek Timin.

Sokran melerai agar mabok cokriknya damai-damai saja. Untung sekali tak berlanjut. Tapi siapa tahu isi hati orang?

Sejak gedong ludruk itu sudah digusur zaman, Kodrat seperti patung kota, teronggok tak terurus. Pulang ke istri simpanan, pasti akan didamprat habis-habisan karena tidak bawa uang belanja. Sementara itu, utang sewa becak ke Ji Mukti, semakin menumpuk. Mau tidak mau Kodrat harus memutar otak. Tapi meskipun otak sudah diputar sampai nggliyeng, tak ditemukan jalan keluar.

Kalau sudah begitu, penyelesaiannya dengan mabok cokrik. Kalau tak ada uang, nyopet atau njambret, paling tidak, malak orang lewat. Tak jarang kehidupannya yang karut marut itu disandarkan pada Wartini, si tandak ludruk, yang ternyata sangat mengerti penderitaan Kodrat.

***

Ini malam kesekian, setelah tiga kawan Kodrat, -Bendol, Ateng, Kunting- tewas tercekik cokrik oplosan. Malam ini ia tiduran di becak dengan sarung bututnya. Hanya beberapa motor dan mobil saja lalu lalang di jl. Wonokromo. Sudah jam 12 Kodrat tak bisa tidur. Ia hanya klesikan di atas becaknya.

Kepalanya pusing. Sudah sekian hari tak nyokrik. Selain tak ada uang, ia masih terbayang mengingat tiga kawannya yang tewas. Sementara, ia tak berani pulang ke dua istri simpanannya, karena tak punya uang sepeserpun.

Wartini, pelanggan tetapnya, juga sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Konon, kata Timin, Wartini buka salon di Karangrejo. Katanya Timin, di Karangrejo itu Wartini dibangunkan salon oleh ‘gendakannya’.

Kodrat tau, tak mungkin ia bisa mengontrakan Wartini untuk usaha salon. Sementara ia sendiri, hutangnya pada Ji Mukti, menumpuk gara-gara tak pernah setor sewa becak.

“Walah…wong jelas Wartini itu lanang kok masih mok pikir to Drat?” kata Timin yang menggoda Kodrat ketika curhat soal hilangnya Wartini.

Sejak Wartini resmi jadi gendakaan orang lain, dan dua istrinya simpanannya juga memilih berpisah, Kodrat seperti becak kehilangan rem. Dan malam ini pikirannya hanya satu bagaimana bisa menemukan Wartini. Betapa pun, Wartini ketika masih nggedhong dengan cak Sodik, ia mau menemaninya lahir batin dengan segala beban penderitaannya. Sampai-sampai demi Wartini, ia tak berani narik penumpang. Meski hari itu belum tentu Wartini ngasih uang abonemen.

“Sekarang kok enak-enakan gendakan sama orang lain!”

Tiba-tiba Kodrat bangun dari jok becak. Pikirannya yang buntu, segera ia putar. Ia bangun dan mengayuh becaknya menuju stasiun Wonokromo. Disana ia pinjam celurit, Timin, preman pasar ‘maling’ tak jauh dari stasiun.

“Buat apa, kok pinjam celurit?”

Ngrampok…!” kata Kodrat singkat.

Kon, jangan gila, Drat!” seru Timin.

Kodrat bergeming. Kodrat memasang kerpus dan kaos tangan bututnya. Ia kayuh becak  menuju Karangrejo. Ia mengayuh dari gang ke gang. Jalanan sepi. Di depan salon kecil bertuliskan Wartini-Wartono Indah Salon, Kodrat mengerem becaknya. Ia ambil celurit yang disengkelitkan di jok becak. Ia yakin ini salon Wartini.

Tiang listrik dipukul dua kali. Kodrat mengendap-endap. Ia bongkar pintu samping salon berukuran 4×6 itu. Celurit yang dihunusnya sedikit berkilat diterpa cahaya lampu 5 watt. Tubuh yang tidur pulas ia tikam 3 sampai 4 kali. Kodrat mengeruk isi almari kecil di atas tempat tidur, tubuh yang bersimbah darah.

***

Jelang subuh, Kodrat sampai di stasiun Wonokromo. Ia menyusuri rel kereta mencari Timin. Beberapa lelaki hidung belang masih hilir mudik usai buang ‘hajat’. Di sudut rel, dekat persimpangan kereta, tiba-tiba langkah Kodrat terhenti.

“Drat….!” sebuah suara yang dikenalnya menusuk sepi. Kodrat menoleh. Di keremangan ada siluet tubuh yang dikenalnya.

“Wartini..?”

“Tak cari di pangkalan, kok gak ada. Kata Timin sudah punya gendhaan baru. Bener ta..?” kata Wartini. Kodrat tak menjawab. Batinya campur aduk.

“Katanya punya salon di Karangrejo…?” tanya Kodrat sambil duduk di rel kereta.

“O…itu punya adikku. Dia pingin kuliah. Terus tak bikinkan usaha salon, biar untuk biaya kuliahnya. Biar gak jadi wandu, seperti cacaknya ini,” kata Wartini yang membikin jantung Kodrat pecah.

“Lumayan, Cak, punya usaha sedikit. Ludruk sudah gak laku. Gak lagi ada yang nanggap. Usaha salon masih mending, sehari bisa dapat 50 ribu,” cerita Wartini antusias.

Kodrat membisu. Ia merasa hatinya remuk dibakar cemburu.

“Ini ulah Timin…” batin Kodrat.

“Ayo, Cak, antar pulang. Malam ini sepi. Gak ada pelanggan.”

Kodrat mengayuh becaknya begitu lambat. Wartini duduk di depan sambil membenahi make up-nya. Sementara masjid dekat Pasar Wonokromo, mengumandangkan tarqim jelang subuh.

“Kok kelihatan lemas to, Cak?”

Dingin. Suara adzan subuh merambat lirih di kejahuan, ketika becak Kodrat sampai pada perempatan terakhir menuju kontrakan Wartini. Tiba-tiba becak Kodrat terhenti. Beberapa orang tampak berlarian.

“War…adikmu, War…!” teriak Sukidi.

“Kenapa adikku?” tanya Wartini sebelum turun dari becak Kodrat.

“Lihat  sendiri…” seru Sukidi.

Wartini hendak menerobos gerombolan orang, tapi dilarang. Wartini hanya melihat dari balik jendela. Sebuah bercak-bercak darah menempel di kaca salon. Wartini pingsan.

Kodrat menyelinap di antara kerumunan orang-orang. Ia mengayuh becaknya dengan sekuat tenaga meninggalkan salon Wartini yang bersimbah duka.

***

Ketika fajar memerah, di tepian kali Jagir, Kodrat sudah tersungkur karena mabuk. Bersama Timin ia sudah habiskan 2 paloma dioplos suplemen. Pada Timin Kodrat cerita kalau telah merampok. Tetapi dasar Timin sudah ‘miring’ otaknya, dia menjawab sambil berseloroh; “Pasti yang kon rampok Ji Mukti yang kikir itu,”

“Dia pantas kalau kamu rampok,” kata Timin.

“Tak tebas 5 kali. Moncrot darahnya…”

“Celuritku…tajam?”

“Langsung tewas!”

“Mana celuritnya?”

“……?” Kodrat agak tergagap. Ia tak tak tau dimana celuritnya berada.

Jalanan mulai menderu. Sampai sore, Timin dan Kodrat masih dlosoran di bantaran kali Jagir.

***

Sampai hari ketujuh sepeninggalan adiknya, Wartini masih berduka. Sementara Kodrat seperti hilang dari Pulo Wonokromo. Sebelum menghilang Kodrat sempat pamit ke Wartini kalau ingin pulang ke desa. Bahkan, Wartini nyangoni  25 ribu.

Dan di siang yang panas, Timin yang sedang mangkal di depan stasiun Wonokromo, diciduk polisi. Di kantor polisi, sudah ada Wartini.

“Sampeyan kok tega yo Cak, mateni adikku!” radang Wartini.

Timin tak mengerti. “Membunuh siapa?”

Timin ditunjukan barang bukti sebilah celurit. Darah Timin menciut. Sisa mabok semalam lenyap seketika.

“Ini memang celurit saya, tapi bukan saya pembunuhnya,” kata Timin. “Celurit ini pernah dipinjam Kodrat?” serunya lagi.

Tapi polisi punya bukti yang menguatkan. Ia menunjukan gambar sidik jari. Dan gambar sidik jari itu persis milik Timin. Timin tak berkutik.

Wartini hanya tertegun. Sementara tubuh Timin bergetar memendam bara dendam.

 

Surabaya, 2014

Cerita Kedasih

Cerpen R Giryadi

“Itu burung apa, Mak?” tanya Mimin pada Kedasih, -emaknya-, ketika sore memerah jingga.

Kedasih pun bercerita tentang burung-burung yang sering nangkring di pohon tak jauh dari rumah Tuannya. Itulah hiburan yang bisa menambal sedih anaknya karena saban hari harus dikurung dalam kamar emaknya.

ilustrasi-cerpen-cerita-kedasih-dyan-anggrainiCerpen R Giryadi

“Itu burung apa, Mak?” tanya Mimin pada Kedasih, -emaknya-, ketika sore memerah jingga.

Kedasih pun bercerita tentang burung-burung yang sering nangkring di pohon tak jauh dari rumah Tuannya. Itulah hiburan yang bisa menambal sedih anaknya karena saban hari harus dikurung dalam kamar emaknya.

Kamar yang berukuran 3 X 4 itu, bekas gudang Tuannya. Gudang butut itu, hanya terdiri dari satu dipan dan almari yang sudah pecah kacanya. Sebuah televisi yang separuh gambarnya hilang,  tanpa remote. Di satu sisi tembok kamar ada jendela menghadap ke jalan, sehingga Mimin bisa melihat pokok pohon trembesi yang tumbuh berjajar-jajar sepanjang jalan depan rumah Tuannya.

Lewat jendela itulah, Mimin melihat, betapa di luar sana, anak-anak sebayanya asyik bermain. Sementara ia harus bekerja membanting tulang, bersama emaknya. Ia hanya bisa melihat dari balik jendela dengan tatapan mata berbinar. Lanjutkan membaca “Cerita Kedasih”