Setelah ludruk cak Sodik di Wonokromo -tak jauh dari terminal Joyoboyo- tak lagi nggedhong, Kodrat hanya seperti patung kota yang tak terurus. Saban hari pekerjaannya hanya duduk di atas becak yang disewa dari Ji Mukti (Haji Mukti), juragan becak yang tinggal di Pulo Wonokromo. Saban hari, kalau tidak hanya jadi patung di atas becak, di sudut jalan Pulo Wonokromo, ia mendem di dekat bantaran kali Jagir.
Dulu sewaktu masih ada ludruk, Kodrat masih bisa jualan rokok, cokrik, dan abonemen becak. Biasanya, jelang subuh, Wartini (Wartono) si tandak ludruk minta diantar pulang ke Bendulmrisi. Tapi tak jarang, kalau Wartini tidak nandak, ia tak terima bayaran sepeser pun. Meski begitu, Kodrat mau saja.
Kalau Wartini sedang dapat ‘rezeki’, Kodrat dapat persenen, 5-10 ribu, bayar becaknya 4 ribu. Total bisa 9 ribu atau 14 ribu. Uang sebanyak itu, biasanya habis buat mel-mel-an dengan kawan-kawannya seprofesi, beli cokrik di Karah. Kalau sudah terkumpul, biasanya mereka nyokrik di becak, sambil nunggu penumpang.
Tetapi, sekarang, nunggu penumpang seperti nunggu durian runtuh. Apalagi sejak terminal bus pindah ke Bungurasih, ditamabah lagi semakin banyak orang punya sepeda motor, becaknya hanya jadi pajangan di pojok pertigaan Pulo Wonokromo. Sehari dapat satu penumpang seperti dapat anugerah yang tiada tara. Pun begitu, Kodrat percaya dengan rezeki. Ia tak pernah beralih pekerjaan dari tukang becak, meski saban hari ia nunggak uang sewa becak.
Pernah suatu hari ia ditawari pekerjaan oleh orang misterius. Tapi ia tidak mau menerima. Padahal pekerjaannya sangat mudah. Saban hari ia disuruh ‘melapor’, siapa saja teman-temannya yang suka minum cokrik. Terus di mana saja tempat penjualan cokrik. Hanya itu. Bayarannya per laporan.
Kodrat menolak. Alasannya sederhana. Yang dilaporkan adalah kawan-kawannya sendiri. Dan lebih penting, ia sendiri suka cokrik.
“Kon iku longor. Begitu kok tidak diterima. Seharusnya diterima, uangnya buat mabok bareng,” kata Sokran, ketika mendengar cerita Kodrat.
“Hellleh…nggabluk. Bohong. Kamu mabok ta…?!” Timin, preman pasar maling, tidak percaya dengan cerita Kodrat. Ia menganggap cerita Kodrat hanya igauannya ketika mabok.
Memang, sejak, ludruk cak Sodik, bahkan sejak cak Sodik sudah tiada, kondisinya memang malik grembyang. Wartini sudah tak ketahuan rimbanya. Kata Timin, Wartini sudah alih profesi.
“Sudah sering mangkal di Irba…” kata Timin, ketika tegakan terakhir membasahi kerongkongannya.
Kodrat sedikit terprovokasi.
“Hhhhh..kamu ngesiri Wartini…?” ledek Timin.
Sokran melerai agar mabok cokriknya damai-damai saja. Untung sekali tak berlanjut. Tapi siapa tahu isi hati orang?
Sejak gedong ludruk itu sudah digusur zaman, Kodrat seperti patung kota, teronggok tak terurus. Pulang ke istri simpanan, pasti akan didamprat habis-habisan karena tidak bawa uang belanja. Sementara itu, utang sewa becak ke Ji Mukti, semakin menumpuk. Mau tidak mau Kodrat harus memutar otak. Tapi meskipun otak sudah diputar sampai nggliyeng, tak ditemukan jalan keluar.
Kalau sudah begitu, penyelesaiannya dengan mabok cokrik. Kalau tak ada uang, nyopet atau njambret, paling tidak, malak orang lewat. Tak jarang kehidupannya yang karut marut itu disandarkan pada Wartini, si tandak ludruk, yang ternyata sangat mengerti penderitaan Kodrat.
***
Ini malam kesekian, setelah tiga kawan Kodrat, -Bendol, Ateng, Kunting- tewas tercekik cokrik oplosan. Malam ini ia tiduran di becak dengan sarung bututnya. Hanya beberapa motor dan mobil saja lalu lalang di jl. Wonokromo. Sudah jam 12 Kodrat tak bisa tidur. Ia hanya klesikan di atas becaknya.
Kepalanya pusing. Sudah sekian hari tak nyokrik. Selain tak ada uang, ia masih terbayang mengingat tiga kawannya yang tewas. Sementara, ia tak berani pulang ke dua istri simpanannya, karena tak punya uang sepeserpun.
Wartini, pelanggan tetapnya, juga sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Konon, kata Timin, Wartini buka salon di Karangrejo. Katanya Timin, di Karangrejo itu Wartini dibangunkan salon oleh ‘gendakannya’.
Kodrat tau, tak mungkin ia bisa mengontrakan Wartini untuk usaha salon. Sementara ia sendiri, hutangnya pada Ji Mukti, menumpuk gara-gara tak pernah setor sewa becak.
“Walah…wong jelas Wartini itu lanang kok masih mok pikir to Drat?” kata Timin yang menggoda Kodrat ketika curhat soal hilangnya Wartini.
Sejak Wartini resmi jadi gendakaan orang lain, dan dua istrinya simpanannya juga memilih berpisah, Kodrat seperti becak kehilangan rem. Dan malam ini pikirannya hanya satu bagaimana bisa menemukan Wartini. Betapa pun, Wartini ketika masih nggedhong dengan cak Sodik, ia mau menemaninya lahir batin dengan segala beban penderitaannya. Sampai-sampai demi Wartini, ia tak berani narik penumpang. Meski hari itu belum tentu Wartini ngasih uang abonemen.
“Sekarang kok enak-enakan gendakan sama orang lain!”
Tiba-tiba Kodrat bangun dari jok becak. Pikirannya yang buntu, segera ia putar. Ia bangun dan mengayuh becaknya menuju stasiun Wonokromo. Disana ia pinjam celurit, Timin, preman pasar ‘maling’ tak jauh dari stasiun.
“Buat apa, kok pinjam celurit?”
“Ngrampok…!” kata Kodrat singkat.
“Kon, jangan gila, Drat!” seru Timin.
Kodrat bergeming. Kodrat memasang kerpus dan kaos tangan bututnya. Ia kayuh becak menuju Karangrejo. Ia mengayuh dari gang ke gang. Jalanan sepi. Di depan salon kecil bertuliskan Wartini-Wartono Indah Salon, Kodrat mengerem becaknya. Ia ambil celurit yang disengkelitkan di jok becak. Ia yakin ini salon Wartini.
Tiang listrik dipukul dua kali. Kodrat mengendap-endap. Ia bongkar pintu samping salon berukuran 4×6 itu. Celurit yang dihunusnya sedikit berkilat diterpa cahaya lampu 5 watt. Tubuh yang tidur pulas ia tikam 3 sampai 4 kali. Kodrat mengeruk isi almari kecil di atas tempat tidur, tubuh yang bersimbah darah.
***
Jelang subuh, Kodrat sampai di stasiun Wonokromo. Ia menyusuri rel kereta mencari Timin. Beberapa lelaki hidung belang masih hilir mudik usai buang ‘hajat’. Di sudut rel, dekat persimpangan kereta, tiba-tiba langkah Kodrat terhenti.
“Drat….!” sebuah suara yang dikenalnya menusuk sepi. Kodrat menoleh. Di keremangan ada siluet tubuh yang dikenalnya.
“Wartini..?”
“Tak cari di pangkalan, kok gak ada. Kata Timin sudah punya gendhaan baru. Bener ta..?” kata Wartini. Kodrat tak menjawab. Batinya campur aduk.
“Katanya punya salon di Karangrejo…?” tanya Kodrat sambil duduk di rel kereta.
“O…itu punya adikku. Dia pingin kuliah. Terus tak bikinkan usaha salon, biar untuk biaya kuliahnya. Biar gak jadi wandu, seperti cacaknya ini,” kata Wartini yang membikin jantung Kodrat pecah.
“Lumayan, Cak, punya usaha sedikit. Ludruk sudah gak laku. Gak lagi ada yang nanggap. Usaha salon masih mending, sehari bisa dapat 50 ribu,” cerita Wartini antusias.
Kodrat membisu. Ia merasa hatinya remuk dibakar cemburu.
“Ini ulah Timin…” batin Kodrat.
“Ayo, Cak, antar pulang. Malam ini sepi. Gak ada pelanggan.”
Kodrat mengayuh becaknya begitu lambat. Wartini duduk di depan sambil membenahi make up-nya. Sementara masjid dekat Pasar Wonokromo, mengumandangkan tarqim jelang subuh.
“Kok kelihatan lemas to, Cak?”
Dingin. Suara adzan subuh merambat lirih di kejahuan, ketika becak Kodrat sampai pada perempatan terakhir menuju kontrakan Wartini. Tiba-tiba becak Kodrat terhenti. Beberapa orang tampak berlarian.
“War…adikmu, War…!” teriak Sukidi.
“Kenapa adikku?” tanya Wartini sebelum turun dari becak Kodrat.
“Lihat sendiri…” seru Sukidi.
Wartini hendak menerobos gerombolan orang, tapi dilarang. Wartini hanya melihat dari balik jendela. Sebuah bercak-bercak darah menempel di kaca salon. Wartini pingsan.
Kodrat menyelinap di antara kerumunan orang-orang. Ia mengayuh becaknya dengan sekuat tenaga meninggalkan salon Wartini yang bersimbah duka.
***
Ketika fajar memerah, di tepian kali Jagir, Kodrat sudah tersungkur karena mabuk. Bersama Timin ia sudah habiskan 2 paloma dioplos suplemen. Pada Timin Kodrat cerita kalau telah merampok. Tetapi dasar Timin sudah ‘miring’ otaknya, dia menjawab sambil berseloroh; “Pasti yang kon rampok Ji Mukti yang kikir itu,”
“Dia pantas kalau kamu rampok,” kata Timin.
“Tak tebas 5 kali. Moncrot darahnya…”
“Celuritku…tajam?”
“Langsung tewas!”
“Mana celuritnya?”
“……?” Kodrat agak tergagap. Ia tak tak tau dimana celuritnya berada.
Jalanan mulai menderu. Sampai sore, Timin dan Kodrat masih dlosoran di bantaran kali Jagir.
***
Sampai hari ketujuh sepeninggalan adiknya, Wartini masih berduka. Sementara Kodrat seperti hilang dari Pulo Wonokromo. Sebelum menghilang Kodrat sempat pamit ke Wartini kalau ingin pulang ke desa. Bahkan, Wartini nyangoni 25 ribu.
Dan di siang yang panas, Timin yang sedang mangkal di depan stasiun Wonokromo, diciduk polisi. Di kantor polisi, sudah ada Wartini.
“Sampeyan kok tega yo Cak, mateni adikku!” radang Wartini.
Timin tak mengerti. “Membunuh siapa?”
Timin ditunjukan barang bukti sebilah celurit. Darah Timin menciut. Sisa mabok semalam lenyap seketika.
“Ini memang celurit saya, tapi bukan saya pembunuhnya,” kata Timin. “Celurit ini pernah dipinjam Kodrat?” serunya lagi.
Tapi polisi punya bukti yang menguatkan. Ia menunjukan gambar sidik jari. Dan gambar sidik jari itu persis milik Timin. Timin tak berkutik.
Wartini hanya tertegun. Sementara tubuh Timin bergetar memendam bara dendam.
Surabaya, 2014