Istimewa

Ketika Sukir Bisa Membaca

Cerpen R Giryadi

Hidup di gang sempit, para tetangga seperti punya alat perekam yang canggih. Kupingnya seperti alat pendeteksi, matanya seperti hidencamera, yang setiap gerak gerik kita, semua terekam. Otak mereka seperti hardisc yang mampu menyimpan miliaran data. Sekali tekan tombol : mulut mengoperasikan data itu menjadi gosip yang berkepanjangan.

ketika sukir bisa membaca-ilustrasi Dellia Phut
ilustrasi Keith Negley

Cerpen R Giryadi

Hidup di gang sempit, para tetangga seperti punya alat perekam yang canggih. Kupingnya seperti alat pendeteksi, matanya seperti hidencamera, yang setiap gerak gerik kita, semua terekam. Otak mereka seperti hardisc yang mampu menyimpan miliaran data. Sekali tekan tombol : mulut mengoperasikan data itu menjadi gosip yang berkepanjangan.

Hidup di gang sempit memang tidak ada rahasia. Kita seperti hidup di ruang kaca. Semua polah tingkah kita akan segera bisa diketahui dari gang satu ke gang lain, kemudian merebak bagai gelombang radio yang dalam sepersekian detik, kabar itu bisa diterima ke pendengar terjauh sekalipun.

Hidup di gang sempit, semua orang boleh mengetahui apa yang kami miliki dan tidak kami miliki. Hidup di gang sempit, ruang hidup kita memang benar-benar sempit. Mata, telinga, dan otak tetangga ada disisi kita, menempel di dinding, seperti lumut yang menggerogoti tembok.

Dan kali ini lumut itu menggerogoti tembok kami. Lanjutkan membaca “Ketika Sukir Bisa Membaca”

Istimewa

Drama Pendek Pembunuhan Godot

Kabar datangnya seorang yang akan memenggal kepalaku, sebenarnya sudah aku dengar lama. Tetapi, sebagaimana biasa, kabar itu pasang surut, tidak jelas kebenarannya.

Terkadang kabar itu begitu santer terdengar. Tapi juga terkadang menghilang begitu saja.

Cerpen R Giryadi

drama pendek-pinterest
illustrasi pinterest

Kabar datangnya seorang yang akan memenggal kepalaku, sebenarnya sudah aku dengar lama. Tetapi, sebagaimana biasa, kabar itu pasang surut, tidak jelas kebenarannya.

 

Terkadang kabar itu begitu santer terdengar. Tapi juga terkadang menghilang begitu saja.

Meski kabar kedatangannya semakin surut, aku tetap waspada. Seseorang yang berhati jahat, punya sejuta jalan untuk membunuh musuhnya. Dan hari-hariku, seperti berjalan di labirin yang penuh dengan jebakan.

“Inilah bagian perjalanan hidupku yang menegangkan,” kataku pada seorang teman yang matanya agak juling.

“Apa kamu butuh bantuan?” katanya tak menyakinkan. Aku geleng kepala. Karena bisa jadi ini bagian dari jebakan.

Sejak muncul kabar itu, aku menjadi manusia perasa dan menyendiri. Tak ada suasana yang menentramkanku. Seperti dalam labirin, setiap tikungan, perempatan, pertigaan adalah pertanyaan dan kecurigaan. Hidup menjadi penuh kecurigaan. Untuk menentramkan batin, aku sengkelit belati di pinggang. Lanjutkan membaca “Drama Pendek Pembunuhan Godot”

Istimewa

Membaca Cerpen Pandan

Membaca cerpen-cerpen Pandan, dalam buku ini, kita tidak akan mendapati dunia anak yang gembira, main-main, lucu, riang, dan lain sebagainya. Tetapi cerpen-cerpen Pandan menyuguhkan dunia lain yang jauh dari suasana ‘kekanakan’.

cover pandan 2 cdrPengantar R Giryadi

Membaca cerpen-cerpen Pandan, dalam buku ini, kita tidak akan mendapati dunia anak yang gembira, main-main, lucu, riang, dan lain sebagainya. Tetapi cerpen-cerpen Pandan menyuguhkan dunia lain yang jauh dari suasana ‘kekanakan’.

Pandan yang masih berusia anak-anak, telah berusaha keras menyajikan tema-tema sosial tetapi bertautan dengan dunianya sebagai anak-anak. Cerpen-cerpennya menggarap dunia sosial lingkunganya, baik sebagai anak maupun sebagai siswa, bahkan sebagai bagian dari lingkungannya.

Apakah ini salah?

Tentu kalau kita berukuran secara normatif pada ciri-ciri sastra anak, maka kita tidak akan mendapatkan apa yang diharapkan pada difinisi sastra anak. Di sini, Pandan, mencoba ‘berpikir’ dengan cara orang dewasa (adult literary), sehingga cerpen-cerpennya terasa memiliki bobot yang lain, dibandingkan dengan cerita anak pada umumnya.

Kepekaan Pandan pada masalah-masalah sosial, tentu tak patut disalahkan. Justru disitulah ‘nilai lebih’, cerita-cerita yang ditulis Pandan. Cerita anak-anak dengan banyak menyajikan masalah-masalah sosial dan tidak sekedar menyajikan imajinasi-majinasi sebagaimana kekhasan dunia sastra anak.

Dengan kepekaannya, Pandan, ingin menyuguhkan dunia yang tidak kanak-kanak lagi. Dalam cerita : Sahabat Tanpa Nama, terlihat sekali, Pandan tidak ingin larut dalam dunia kekanakan yang cenderung bermain-main, tetapi dunia anak dengan sisi yang ‘gelap’, terpinggirkan, dan kalah.

Cerpen dengan tema yang sama juga terlihat pada, “Dewi Bulan”. Cerpen ini berkisah tentang, seorang anak yang kehilangan orang tuanya. Ternyata, anak jalanan ini, adalah anak kembar. Setiap hari ia berharap bisa membeli baju lebaran dengan mengumpulkan uang mengamen. Pada saat jelang lebaran, ia bertemu dengan kembarannya.

Cerpen-cerpen lain yang digarap dengan agak berasa misteri, menampakan kekuatan Pandan dalam menyusun cerita.

Begitu juga pada cerpen, Begitu juga pada cerpen “Sahabat dari Senja”, menyajikan suasana petualangan penuh misteri. Cerpen ini mengingatkan kisah empat sekawan karya Enid Bilyon, yang selalu mengisahkan petualangan empat remaja. Cerpen Sahabat dari Senja, petualangan tokoh ‘aku’ bersama kawan-kawannya, yang mampu membongkar kasus penyekapan anak, oleh ayahnya sendiri, karena malu memiliki anak berkebutuhan khusus. Tema yang sama dengan gaya bercerita yang sama tampak pada cerpen: Tangisan Surya, Buku harian Warna Merah Jambu, Salah Sangka.

Cerita yang tampak lebih dewasa adalah pada cerita; Surat dari Gunung Selurung, Sepeda Butut, Ode untuk Ibu, Cerita ini menyajikan tema sosial yang sangat kuat.

Cerpen Surat dari Gunung Selurung, misalnya, menggambarkan harapan seorang anak, yang telah tinggal di sebuah kota, terhadap kota kecilnya, yang memiliki seorang pahlawan yang-mungkin- sudah dilupakan banyak orang. Dengan teknik kisahan ulang-alik, Pandan, berhasil memaparkan dunia masalalu dan kekinian, yang silap dari pemahaman sejarah.

Cerpen Sepeda Butut, juga memiliki cara kisahan yang sama. Pandan seolah juga ingin menekankan betapa penting, mengetahui dan memahami sejarah. Lewat sepeda butut, tinggalan kakek, Pandan ingin memaparkan, di balik sesuatu yang sudah lampau, ada nilai yang patut digali dan bahkan diajarkan ulang.

Ode untuk Ibu, punya dasar cerita, kecintaan anak pada seorang ibu. Cerita ini memiliki, suasana kecintaan pada ibu yang hampir tanpa batas. Ode untuk Ibu, menggambarkan pengorbanan anak-anak pengamen pada ibunya. Anak-anaknya rela mendonorkan matanya, pada ibunya, agar ia –masih- bisa melihat tangis ibu. Sungguh pengorbanan –anak kecil- yang sangat luar biasa.

Pandan berupaya menyisipkan harapannya, dalam cerita-ceria yang digarapnya. Amanat yang diharapkan Pandan, sebagai penulis, terselip di antara cerita-cerita yang ditulisnya. Sebagai penulis cilik, Pandan, tetaplah menempatkan diri sebagai dirinya. Karena itu dalam menyelesaikan cerita-ceritanya, Pandan, tak pernah mengakhiri dengan sad ending. Semua berakhir dengan kegembiraan.

Sidoarjo, Oktober 2017

R Giryadi

(Penulis)

Istimewa

Naskah Drama Komunitas Tombo Ati

Naskah drama adalah salah satu wujud, ekspresi teater dalam bentuk teks. Di dalamnya terdapat lakuan yang dibayangkan sebagai bentuk teater. Karena itu, naskah drama tidak saja sekadar acuan tetapi di dalamnya ada ‘idealisasi teater’ yang dibayangkan. Seoarang penulis naskah drama, sudah mempersiapkan diri, bagaimana teaternya akan berlangsung.

 

cover drama kta fbPengantar R Giryadi

Naskah drama adalah salah satu wujud, ekspresi teater dalam bentuk teks. Di dalamnya terdapat lakuan yang dibayangkan sebagai bentuk teater. Karena itu, naskah drama tidak saja sekadar acuan tetapi di dalamnya ada ‘idealisasi teater’ yang dibayangkan. Seoarang penulis naskah drama, sudah mempersiapkan diri, bagaimana teaternya akan berlangsung.

Karena itu, bagi kelompok teater tertentu, naskah lakon bisa jadi salah satu materi utama yang berperan sebelum sampai ke tangan para sutradara dan para aktor. Naskah dapat berdiri sendiri sebagai karya sastra (bahan bacaan), ia berdiri sebagai teks yang bebas ditafsir oleh pembacanya. Maka dalam hal ini kita bisa baca naskah-naskah Arifin C Noer, Putu Wijaya, N Riantiarno, dll tidak saja bisa dibayangkan bentuk teaternya, tetapi sekaligus, bisa menikmati naskah tersebut sebagai teks sastra.

Memang, tradisi teater kita, tidak memiliki tradisi teks drama. Teater-teater kita berangkat dari upacara dan tradisi tutur. Hal ini yang kemudian, di awal-awal masa pengaruh teater modern, kemudian terjadi ‘alkulturasi teks lakon’ kedalam bentuk-bentuk teater tradisional kita. Lanjutkan membaca “Naskah Drama Komunitas Tombo Ati”

Istimewa

Teater Tanpa Panggung

Akhudiat adalah salah satu ‘avant garde’ dalam dunia penulisan naskah drama. Mengapa demikian, Akhudiat berani mendobrak tradisi sastra drama yang berkembang sebelum tahun 70-an. Dalam catatan Jakob Sumardjo (1992), isu avant garde teater seiring dengan pertumbuhan kegiatan teater yang didukung oleh Taman Ismail Marzuki yang berdiri 1968. Isu avant garde ditandai dengan munculnya kelompok teater mutahir, memasuki dasawarsa 70 an. Salah satu penekanan dari isu itu adalah adanya sikap ‘anti sastra’.

akhudiat3
AKHUDIAT

Menafsir Akhudiat

Esai ; R Giryadi

Ngaji, sekolah, main layangan di kuburan, terkadang bersamaan Mbah Modin baca talqin di atas kubur baru, kedai buku, sandiwara radio, bioskop, pasar malam, pentas GNI, dan malam-malam Rogojampi—mampir dalam proses kreatif saya….. (5 Lakon Akhudiat, Pagan Press, 2014)

Akhudiat adalah salah satu ‘avant garde’ dalam dunia penulisan naskah drama. Mengapa demikian, Akhudiat berani mendobrak tradisi sastra drama yang berkembang sebelum tahun 70-an. Dalam catatan Jakob Sumardjo (1992), isu avant garde teater seiring dengan pertumbuhan kegiatan teater yang didukung oleh Taman Ismail Marzuki yang berdiri 1968. Isu avant garde ditandai dengan munculnya kelompok teater mutahir, memasuki dasawarsa 70 an. Salah satu penekanan dari isu itu adalah adanya sikap ‘anti sastra’.

Akhudiat adalah bagian dari kondisi mutahir teater Indonesia yang ditandai dengan ketidak percayaan pada sastra drama. Kemutahiran teater Indonesia ditandai dengan ketaktergantuangnnya pada sastra drama. Naskah teater bukanlah untuk dibaca, tetapi untuk dimainkan. Kerena itu, naskah baru disebut naskah jadi, kalau sudah dipentaskan.

Dimasa mutahir inilah muncul naskah-naskah yang berbeda dari naskah-naskah dasawarsa sebelumnya yang lebih menekankan pada stuktur dramatik yang ketat dengan karakter tokoh yang jelas. Namun pada periode mutahir, naskah bukanlah barang jadi. Ia dianggap naskah, kalau naskah itu telah menjadi pertunjukan.

Ciri lain dari kemutahiran naskah teater tahun 70 an adalah tidak menarik untuk dibaca sebagai teks sastra. Drama –drama ini tidak memiliki cerita, anti plot, non linear, cerita tidak dimulai dari A ke Z, naskah tidak terdiri dari sebuah sebab akibat. Drama-drama masa itu juga anti watak, identitas tokoh tidak jelas, dan tidak ada perkembangan watak yang jelas. Lanjutkan membaca “Teater Tanpa Panggung”

Istimewa

Telepon Masa Depan

Tak ada yang tahu alasannya, mengapa lelaki itu sering datang ke telepon umum yang mangkrak itu. Yang sering diketahui orang-orang, lelaki itu sering seperti sedang menelepon. Orang-orang juga tidak tahu, lelaki itu sedang menelepon siapa. Yang diketahui banyak orang yang berada di situ, lelaki itu seperti sedang menelepon dengan berbagai ekspresi.

d24cdc612ae4be1c8137b9ab267f3cf0

Cerpen R Giryadi

 Di sebuah kafe –bayangkan saja warung kopi-, suatu malam, aku bertemu Kodrat. Seperti yang dijanjikan, ia akan datang tepat waktu. Benar juga, tepat pukul 20.00 ia sudah sampai di kafe yang ia janjikan. Dan aku yang datang lebih awal segera menyambutnya. Tentu dengan basa basi, karena kami adalah karib yang sering berjumpa.

Perjumpaan malam ini adalah perjumpaan yang kesekian ratus kali. Kesekian ratus pula, kawanku yang satu ini hanya ingin mendengar cerita dariku. Dan secangkir coffee late, kentang goreng, atau burger ‘alakadarnya’ ia pesan, sebagai ‘bayaran’ atas ceritaku. Kami sengaja memilih duduk di sudut kafe yang tidak terlalu ramai. Lanjutkan membaca “Telepon Masa Depan”

Istimewa

Membuka dan Menutup Cerpen

ini cerita saya bagaimana cara membuka dan menutup cerpen. pada dasarnya membuka dan menutup cerpen mempunyai bobot kesulitan yang sama.

(sebuah cerita proses kreatif)

Esai R Giryadi

 

Membuka dan menutup cerita pendek (cerpen) adalah pekerjaan yang sangat sulit. Setidaknya keduanya memiliki bobot ‘kesulitan’ yang sama, meskipun ada syarat yang membedakan saat akan membuka cerita dan menutup cerita.

Membuka cerita, adalah upaya memberikan daya tarik agar pembaca mudah masuk dalam cerita. Sementara menutup cerita adalah memberikan kesan yang mendalam pada cerita yang dititipkan pada nasib tokoh, sehingga pembaca mendapatkan kesan pada cerita yang dibaca.

Banyak cara untuk membuka cerita pendek. Ada yang memulai dengan penggambaran setting, penggambaran tokoh, memaparkan pokok persoalan, atau memberi efek kejut, dengan memulai pada konflik atau pokok permasalahan. Semua bergantung kebutuhan cerita yang akan dibangun. Lanjutkan membaca “Membuka dan Menutup Cerpen”

Istimewa

Monolog dan Manifestasi Seorang Aktor

Monolog merupakan permenungan terhadap peristiwa yang sedang menimpa sang tokoh. Dalam drama tragedy misalnya, sang tokoh biasanya berujar sendiri terhadap nasib yang menimpanya.

poster bingkai kanvas kosong fbEsai R Giryadi

Akhir-akhir ini Surabaya sedang demam monolog. Paling tidak dalam catatan saya, sepanjang awal tahun 2005 ini sudah ada tiga sampai empat pertunjukan monolog. Pertama R. Giryadi (Retorika Lelaki Tua), M.Azis Manna (Alibi), Whani Darmawan- actor Jogjakarta (Matinya Seorang Pejuang), dan Johan Choirul Jaman (Reuni Para Nabi). Belum lagi pada awal April ini Dewan Kesenian Surabaya (DKS), mengadakan lomba monolog dengan jumlah peserta lebih dari 30 orang. Semoga yang terakhir ini bukan gejala lomba saja dengan iming-iming sejumlah uang.

Terlepas dari itu, perlu ada semacam rekontruksi kembali tentang pemahamam monolog, yang masih terkesan simpang siur pengertiannya. Sementara orang, ada yang menilai monolog sama dengan memainkan naskah dengan berbagai peran (one man show). Sehingga dalam monolog actor dituntut bisa memperagakan, berbagai karakter yang diinginkan dalam naskah itu. Lanjutkan membaca “Monolog dan Manifestasi Seorang Aktor”

Istimewa

Pemiluan

Jagad kita sudah miring. Belum tancep kayon, orang-orang yang benar dibungkam. Kalau membahayakan dibunuh. Jagad kita sudah sinting. Orang yang eling, dianggap ngaling-ngalingi jalan. Orang yang benar dikira pembuat onar. Orang yang salah malah jadi sesembah. Hidup kita sudah semakin salah kaprah.

Umbul  wayang 36 AWayang kampung-an
(sebuah drama pemilu yang tidak jujur dan adil)
Oleh : R Giryadi
Pemain :
DALANG
WARAK (wakil rakyat)
BLORENG (keamanan)
SPIKER
JULING
ORANG 1
ORANG 2
ORANG 3
ORANG- ORANG (Penonton)
BABAK I
 
(Seorang dalang dengan pakaian pating gedembel, persis seperti gembel, datang tertatih-tatih, membawa gunungan (kayon))
  1. Dalang
Jagad, jagad, jagad, jaged, joged, beerjoged-joged. Karena ulah manusia bagai uler keket yang kepet, akhirnya makan setempet. Mesti sepet, tetapi nekat disikat. Dasaaar kepet! Jagad, memang sedang berjoged. Manusia tidak penah bisa diam-pet (–meksa–). Orang-orang omyeng. Kepala poseng. Memikirkan komeng, yang lagi meleng nabrak si Eneng. Eh, dalang kok blakrak kayak orang senteng (eh, maksudnya sinting).
Emang, jagad sudah senting. Tak ada yang benar. Semuanya salah, alias meleng. Eh, jagad-jagad, joged, berjoged-joged. Kini semua orang berjoged-joged, karena goyang itik, Zaskia Gotik, sudah mewabah, menjangkiti laki-laki impoten. Eh..eh..eh..
Tak hanya orang-orang kecil saja yang berjoged, para pamong praja juga bergoyang ria kayak Caesar yang ketiban pulung YKS—Yuk Kita Sedeng—.
Hi..hi..hi..jagad sedang oleng. Pikiran orang sudah pada sedeng. Tak adak yang kenceng. Semua kayak celeng. Tak bisa berbelok. Maunya yang lurus saja. Menabraki benda yang merintanginya. Tak perduli teman, lawan, semua disikat, demi kehidupan yang nikmat. Orang kok, tidak dinamis. Monoton. Dan tak suka kemajuan. Bagaimana mau maju? Ada orang pinter sedikit, ditindas. Ada orang berani sedikit, digencet. Punya jabatan sedikit, korupsi. Punya kekuasaan sedikit, menindas. Bagaimana yang bodoh-bodoh ini.
Oh..oh..oh..dunia sedang roboh. Tak ada yang bisa dibangun kembali. Dunia sudah berkeping-keping. Semua orang pada main kuda lumping, makan semprong beling, sampai kepala pening. Eling, eling, eling. (berputar-putar)
Siapa yang harus dielingkan? Siapa yang harus kelingan? Siapa yang harus mengelingkan? Siapa yang harus eling? Siapa? Siapa? Sapa? Who is? Oh-oh? Tak ada yang bisa menjawab? Nol berarti nilainya. Nol itu berarti kosong. Kosong itu berarti tidak ada. Kalau tidak ada yang dielingkan, bagaimana lagi negara ini bisa maju.
Rakyatnya mau sak karepe dhewe. Pemimpinnya juga sak karepe dhewe. Wis-wis ini negeri apa. Kok rakyat dan pemimpin kok jalan sendiri-sendiri. Tidak sejalan, sak karepe dhewe. Negara apa ini. Negara kok tidak punya aturan main. Pemimpinnya bebas nginjak rakyatnya sendiri. Korupsi sak kuate. Duduk di kekuasaannya sak isine. Negeri kok tidak punya malu. Emangnya punya kemaluan?
Jagad-jagad. Orang kok lebih demen YKS dari ILC. Orang kok suka sinetron dari pada pidato pemimpinnya. Orang kok suka memilih pak RT dari pada milih wakil-wakilnya di DPR. Ini gimana?
(Tiba-tiba, suara gaduh. Keadaan kacau. Orang berjerit-jerit. Pakeliran hampir roboh. Orang-orang lari pontang-panting. Orang-orang berbondong-bondong membawa poster)

Lanjutkan membaca “Pemiluan”

Istimewa

Bingkai Kanvas Kosong

Memang benar kata Tuan, kalau pingin kaya ya jadi pengusaha saja. Jangan menjadi seniman. Tetapi bukankah Tuan yang mendorong saya jadi seniman. Melukis…melukis apa saja, dan Tuan yang membayar semua lukisan saya ini.

 

lidi oke 1Monolog R Giryadi

Sebuah ruangan studio lukis. Kanvas kosong, bergelantungan di mana-mana. Seseorang diam sedang melukis.

  1. Seseorang

(Melukis. Gagal. Merokok. Melukis lagi. Gagal lagi. Begitu seterusnya. Tiba-tiba berhenti melukis. Beranjak mengambil minum. Menyalakan rokok. Beberapa sedotan dimatikan. Dinyalakan lagi. Tapi kemudian mematikan lagi)

Kalau saja Tuan tidak menawari saya, saya pasti tidak ada disini. Kalau saja gedung ini tidak boleh digunakan, apa daya, saya tidak bisa apa-apa. Atau barangkali tidak pameran sama sekali. Tetapi begitulah nasib. Untung tak dapat ditolak, sebenarnya saya sudah pingin pergi dari dunia ini, tetapi ada saja yang mendorong-dorong, agar saya kembali. Ada-ada saja. Padahal ya tidak ada apa-apanya. Kesenian kok dibuat gratisan, kapan sugih-nya. Lanjutkan membaca “Bingkai Kanvas Kosong”

Istimewa

Kepala Tuan Presiden

Hari masih pagi, ketika Tuan Pre, -begitulah Tuan Presiden dipanggil- berteriak kencang memanggil Dasam, ajudannya. Dasam ajudan setia Tuan Pre itu segera lari-lari kecil menghadap tuannya. Tuannya sedang duduk di depan cermin. Ia sedang kebingungan, karen wajahnya sudah malih rupa.

Illustration-by-Paweł-Jońca-625356Kepala Tuan Presiden

Cerpen R Giryadi

Hari masih pagi, ketika Tuan Pre, -begitulah Tuan Presiden dipanggil- berteriak kencang memanggil Dasam, ajudannya. Dasam ajudan setia Tuan Pre itu segera lari-lari kecil menghadap tuannya. Tuannya sedang duduk di depan cermin. Ia sedang kebingungan, karen wajahnya sudah malih rupa.

“Kamu tau, siapa yang mengganti kepala saya?” tanya Tuan Pre, ketika Dasam sudah berada di sampingnya.

“La itu, masih nangkring di badan tuan?”

“Tadi malam saya pakai kepala gandrung,” kata Tuan Pre

“Wah saya kurang tau, Tuan. Mungkin kucing garong yang mengganti?”

“Sontoloyo! Saya jadi kehilangan mimpi gandrung bersama Sinta,” sergah Tuan Pre.

“Tapi hari ini saatnya pakai kepala nomer 33, Tuan,” kata Dasam.

“Mau blusukan ke mana lagi?” kata Tuan Pre

“Kampung-kampung kumuh, melihat-lihat rakyat yang sakit dan miskin?!” jawab Dasam, sembari membuka-buka catatan harian di gadget-nya. Lanjutkan membaca “Kepala Tuan Presiden”

Istimewa

Mei, Perempuan yang Menunggu

Meski kurang bisa melihat jalan, selama bertahun-tahun, Mei tak pernah meminta tolong diantar sampai tempat yang dituju. Tetapi memang terkadang ada orang yang basa-basi ingin menolongnya, tetapi Mei selalu menolak.


anakku lahir dari rahim televisiMei, Perempuan yang Menunggu

Cerpen  R Giryadi

Mei berjalan merambati tembok-tembok kusam, berlumut, seperti bekas reruntuhan perang. Ia berjalan sangat lambat. Meski begitu, ia sangat paham jalan yang dilalui saban hari.

Meski kurang bisa melihat jalan, selama bertahun-tahun, Mei tak pernah meminta tolong diantar sampai tempat yang dituju. Tetapi memang terkadang ada orang yang basa-basi ingin menolongnya, tetapi Mei selalu menolak. Baginya berjalan digandeng atau tidak, ia tetaplah tidak pernah bisa melihat dengan jelas jalan yang dilaluinya. Lanjutkan membaca “Mei, Perempuan yang Menunggu”

Istimewa

Mengenang Kota Hilang

Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan mengais-kais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu hati.

4902146982_263cf38cee_z

Mengenang Kota Hilang

Cerpen R Giryadi

Maka lumpurpun datang membasuh wajah kota itu.

(Hasan Aspahani, 2006)

***

Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya, ketika perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tau arti penderitaan kami.

Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku?. Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.

Akupun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya. Lanjutkan membaca “Mengenang Kota Hilang”

Istimewa

Anakku Lahir dari Rahim Televisi

Anak-anak hilang.

Aku takut mendengar jeritan anak-anak yang berlari di pematang sawah. Bermain-main layang-layang mengusir mendung dan halilintar yang menyambar-nyambar ujung rambutnya.

Mereka berteriak-teriak: ‘cempe-cempe undangna barat gedhe, tak opahi duduh tape, lek entek njupuka dhewe’.

Water-Color-Paintings-portraits-by-Alessandro-Andreuccetti-2Anakku Lahir dari Rahim Televisi

Cerpen R Giryadi

Anak-anak hilang.

Aku takut mendengar jeritan anak-anak yang berlari di pematang sawah. Bermain-main layang-layang mengusir mendung dan halilintar yang menyambar-nyambar ujung rambutnya.

Mereka berteriak-teriak: ‘cempe-cempe undangna barat gedhe, tak opahi duduh tape, lek entek njupuka dhewe’.

Anak-anak berlari menyambut puting beliung. Sembari mengibas-ibaskan kaosnya, laksana cowboy yang menghalau sapi-sapi. Cakrawala memapaknya. Anak-anak hilang. Hilang ditelan senja.

Cangkul dan tampah, dipukul bertalu-talu. Malampun kian melaju.

“Kemana anak-anak?! Ditelan grahono!” Suara tetabuhan cangkul, tampah, dan rinjing, terus bertalu-talu. Bertala Kala berjoget kegirangan. Anak-anak lolos dari cengkeraman mautnya.

Anak-anakpun tertidur pulas dalam rahim istriku. Aku mengusap peluh.

“Apa dia anakku?” aku bertanya dalam paruh malam, tanpa bulan yang hilang ditelan raksasa.

“Bukan?”

Anak-anak menggeliat. Istriku menglenguh!

Lanjutkan membaca “Anakku Lahir dari Rahim Televisi”

Istimewa

Kotaku yang Menakutkan

Dan karenananya kawanku ini, tak pernah suka datang ke kotaku yang penuh dengan silang sengkarut jalan kereta api. Ia hanya berkabar lewat email dan facebook, atau lebih sering lewat whatsapp.

Meskipun ia berkabar lewat dunia maya, ia selalu membayangkan betapa jalan-jalan kereta dengan gerbong-gerbong barang itu, seperti kereta-kereta yang mengangkut ribuan manusia ke sebuah lorong rahasia menuju kamp pemusnahan masal.

Amy-Casey-illustration2Kotaku yang Menakutkan

Cerpen: R Giryadi

“Maaf aku tak jadi datang ke kotamu. Aku takut dengan deru kereta.”

Aku ingat –pesan- kawanku yang takut dengan kereta api. Karena dalam pikirannya, kereta api mengangkut ribuan mayat di dalamnya. Ia selalu teringat cerita bapaknya, tentang kereta maut. Kereta yang mengangkut kakeknya yang dituduh pengikut partai terlarang, meski ia hanya seorang penabuh kendang.

Dan karenananya kawanku ini, tak pernah suka datang ke kotaku yang penuh dengan silang sengkarut jalan kereta api. Ia hanya berkabar lewat email dan facebook, atau lebih sering lewat whatsapp.

Meskipun ia berkabar lewat dunia maya, ia selalu membayangkan betapa jalan-jalan kereta dengan gerbong-gerbong barang itu, seperti kereta-kereta yang mengangkut ribuan manusia ke sebuah lorong rahasia menuju kamp pemusnahan masal. Lanjutkan membaca “Kotaku yang Menakutkan”

Istimewa

Cerita tentang Guluk Guluk

Alhamdulillah, saya dapat bus Akas AC tarif ekonomi jurusan Ketapang-Kalianget. Saya duduk di kursi bersap dua, di deretan kelima, dekat jendela. Penumpang masih bisa dihitung jari.
Alhamdulillah, saya dapat bus Akas AC tarif ekonomi jurusan Ketapang-Kalianget. Saya duduk di kursi bersap dua, di deretan kelima, dekat jendela. Penumpang masih bisa dihitung jari.

Migrasi Kardus

Saya naik bus Akas AC tarif ekonomi ini mungkin sebuah keberuntungan. Busnya sangat enak. Bus rakitan karoseri Morodadi ini, meski bus ‘nano-nano’, tapi jalannya mulus. Saya sebut nano-nano, bus yang diluncurkan 10 April 2014 lalu ini untuk melayani jurusan Ketapang-Kalianget, lewat Situbondo ini, konon dirakit dengan spesifikasi campuran. Seperti sasis dan mesinya, dari mercidez benz, tapi transmisinya memakai Hino AK. Paling tidak itulah informasi yang saya dapat dari tulisan para pecinta bus.

Belum lagi interior busnya yang elegan –kombinasi warna gray dan putih gading- seraya naik bus wisata yang mewah. Begitu juga, di bagian belakang, ada ruang kusus untuk merokok. Saya pikir ini moda transportasi yang berwawasan budaya. Karena meski AC, tetapi tau kalau penumpang –terutama masyarakat Madura- banyak yang doyan merokok, diberilah ruang kusus merokok. Boleh juga, pikir saya.

Oya, ngomong-ngomong soal kardus, saya teringat tulisan Ra Faizi, tentang kebiasaan orang-orang Madura yang membawa kardus oleh-oleh, kemanapun pergi. Ya, saya melihat hampir sembilanpuluh persen penumpang yang naik, membawa kardus. Tidak hanya satu, tapi satu penumpang saya lihat ada yang membawa lebih dari dua kardus. Lanjutkan membaca “Cerita tentang Guluk Guluk”

Istimewa

Untuk Kawanku yang Dikubur Hari ini

Untuk Kawanku yang Dikubur Hari ini
Puisi R Giryadi

siapa mengira tubuhmu terpotong-potong
seperti sosis yang dihidangkan sebelum sore
meski hari ini tak ada mulut dan perut bergelambir
menyambangi tubuhmu.

ini bukan sebuah episode yang harus kamu lakoni
ini seperti adegan improvisasi ketika lampu mati
dan kau berada dalam situasi tragedi:
tubuhmu tergolek di penggorengan
Lanjutkan membaca “Untuk Kawanku yang Dikubur Hari ini”

Istimewa

Perempuan di Peron Stasiun

Water_Colour_And_Acrylic_Painting(4)

Cerbung R Giryadi

Kereta mulai merambat. Tampak petugas stasiun mengacungkan lampu warna merah. Hanya satu atau dua orang saja yang turun di stasiun kecil itu. Sang penyair yang menenteng tas ransel kumuhnya, melompat dari pintu kereta, sebelum kereta berhenti benar. Disibakan rambutnya yang teruari kumal. Matanya menghambur ke peron tunggu. Tak ada seorangpun. Padahal istrinya berjanji menjemputnya.

Sudah banyak berubah stasiun kota kecil yang selalu berkabut ini. Lampu-lampunya tampak benderang. Disana-sini ada penambahan bangunan baru. Dan yang tidak salah ia kira, petugas stasiunnya sudah berganti. Ia tampak masih muda dan tampan.

“Sampeyan petugas baru?” tanya sang penyair, sebelum menuju ke ruang tunggu. Lanjutkan membaca “Perempuan di Peron Stasiun”

Istimewa

Cincin Aurum

8cdd7dc62b9fed0303dd311b8156fca2Cerpen R. Giryadi

30 tahun lalu : Ibuku menjerit dalam temaram lampu teplok, bersama pecahnya air ketuban. Sepasang tangan tua, atas ijin-Nya, menuntunku keluar dari gua rahim Ibu. Suara Bapak menembus kendang telingaku, melafalkan adzan dan iqamah, menandai dimulainya detak jantungku. Detak yang pertama. Detak yang menyatakan aku lahir.

Dalam temaram lampu teplok itu, makluk bercahaya, bermahkota selingkar kabut putih, berterbangan, sambil mensiirkan kalimat-kalimat suci. Di tangannya tergenggam sebatang tulang berwarna keemasan, yang diambil dari seruas rusukku sebelah kiri. Ia berjanji kelak akan mengembalikannya bersama seorang gadis yang namanya akan diukirkan dalam selingkar cincin. Lanjutkan membaca “Cincin Aurum”

Istimewa

Cerita tentang Guluk Guluk

Terus terang sampai sekarang, dimata saya, masih terbayang-bayang wajah Guluk-Guluk, Sumenep, yang memesona. Sebenarnya, kalau dibahasakan lebih ndakik-ndakik, suasana itu seperti manjing dalam bawah sadar saya (untuk tidak menyebut roh), sampai saya tak bisa mengejawantahkan dalam kata-kata.

Alhamdulillah, saya dapat bus Akas AC tarif ekonomi jurusan Ketapang-Kalianget. Saya duduk di kursi bersap dua, di deretan kelima, dekat jendela. Penumpang masih bisa dihitung jari.
Alhamdulillah, saya dapat bus Akas AC tarif ekonomi jurusan Ketapang-Kalianget. Saya duduk di kursi bersap dua, di deretan kelima, dekat jendela. Penumpang masih bisa dihitung jari.

Catatan Perjalanan R Giryadi

(1)

Pra Guluk-Guluk

Terus terang sampai sekarang, dimata saya, masih terbayang-bayang wajah Guluk-Guluk, Sumenep, yang memesona. Sebenarnya, kalau dibahasakan lebih ndakik-ndakik, suasana itu seperti manjing dalam bawah sadar saya (untuk tidak menyebut roh), sampai saya tak bisa mengejawantahkan dalam kata-kata.

Saya tidak bisa menjawab, apakah keterpesonaan ini adalah bagian suasana batin seseorang ketika melihat sesuatu yang tak pernah dilihat, atau tak pernah terbayangkan oleh dirinya? Saya kira ini seperti keterpesonaan orang-orang Eropa pada keelokan ‘India-Belanda’, yang kemudian dicitrakan kegagumannya, dengan lukisan pemandangan yang menajubkan, persis seperti aslinya dan mereka menyebut sebagai ‘Mooi Indie’? Ah, tidak. Bukankah saya sudah sering melihat pemandangan yang sama, yang ada di negeri ini? Tetapi mengapa, wajah Guluk-Guluk masih melekat sampai detik ini? Lanjutkan membaca “Cerita tentang Guluk Guluk”

Istimewa

Sidomukti

Hanya jarit sidomukti, peninggalan ibu yang melekat di tubuhnya. Jarit sidomukti itulah harta satu-satunya yang cukup berharga bagi Sanikem. Sanikem tidak mengerti mengapa ibunya memberikan jarit sidomukti? Bukan kawung atau parang? Sanikem baru mengerti setelah kurang 1000 hari nyawa ibunya melayang dimakan penyakit tak tersembuhkan.

6a00d8353dd52369e20168ebcb2558970cCerpen R Giryadi

Sanikem, perempuan setengah baya duduk termangu, matanya nanar menatap hamparan padang kering. Dua anaknya mengusap peluh yang meleleh di pelipisnya. Sudah bertahun-tahun, Sanikem, memandangi hamparan padang kering yang telah mengubur desanya.

Hanya jarit sidomukti, peninggalan ibu yang melekat di tubuhnya. Jarit sidomukti itulah harta satu-satunya yang cukup berharga bagi Sanikem. Sanikem tidak mengerti mengapa ibunya memberikan jarit sidomukti? Bukan kawung atau parang? Sanikem baru mengerti setelah kurang 1000 hari nyawa ibunya melayang dimakan penyakit tak tersembuhkan. “Jarit ini akan melindungi kehidupanmu,” kata ibunya. Lanjutkan membaca “Sidomukti”

Istimewa

Perempuan di Peron Stasiun

Perempuan itu kemudian membuat catatan untuk dirinya. Di handphonenya yang layarnya sudah pudar. Ia menulis pendek saja: ‘Kawin lari atau menunggu sama saja. Tetapi menunggu masih ada Godot yang akan datang.’

Water_Colour_And_Acrylic_Painting(3)

Cerbung R Giryadi

Mungkin ini untuk yang terakhir kali perempuan itu menunggu kereta yang tak membawa suaminya. Tetapi ia tak jua mengambil keputusan pasti. Di seberang sana, mungkin jauh di kota F, G, H, atau I suaminya masih sibuk. Barangkali di kota-kota itu lah ia menebarkan rindu, meski tak tau kapan kan berlabuh.

“Masih bertahan Nona…eh…maksud saya Nyonya. Tepatnya Nyonya Pengarang…” kata petugas stasiun yang tampak klimis pagi yang bermendung ini.

“Seandainya Anda jadi Nyonya Pengarang, seperti saya, apa yang Anda lakukan,” kata perempuan –yang tak pernah menyebut namanya sendiri selain mengatakan istri Pak…- itu, sembari mengelap airmukanya yang kusam. Lanjutkan membaca “Perempuan di Peron Stasiun”

Istimewa

Perempuan di Peron Stasiun

Perempuan itu tak menyambut kereta. Karena ia yakin suaminya tak akan datang. Pesan terakhirnya berbunyi: ‘Di kota E saya akan menemui sahabat saya. Ia menjanjikan buku-buku. Terus mampir ke kota F disana saya akan baca puisi lagi. Setelah itu pulang, kalau tidak ada undangan mendadak.’

Water_Colour_And_Acrylic_Painting(2)

Cerbung R Giryadi

“Selamat tinggal!” seru perempuan, kepada kereta yang berlahan bergerak. Tetapi suami yang ditunggunya di peron stasiuan, tak menunjukan batang hidungnya. Stasiun kembali sepi.

“Apa ini kereta terakhir?” tanyanya pada petugas stasiun. Petugas yang hendak masuk keruang kerjanya, membalikan tubuhnya. “Belum. Masih ada kereta lain, mungkin akan membawa suami Anda?.”

Perempuan itu manggut-manggut. Di matanya masih tersisa harapan. meski tubuhnya semakin tak berdaya termenanung berlama-lama di bangku peron, ia kembali duduk di bangku peron. Petugas setasiun itu mengamati beberapa detik tetapi kemudian ia tak kuasa berucap. Lanjutkan membaca “Perempuan di Peron Stasiun”

Istimewa

Jakarta, Sebelum 24 Jam

Aku tidak tau, apakah sudah sampai Jakarta atau belum, setelah melompat dari kereta barang yang kutumpangi sebelum benar-benar berhenti di stasiun. Aku tidak tahu, apakah ini stasiun atau sarang monster. Tiba-tiba saja, orang-orang menyerbu seperti kelelawar, menawarkan jasa. Jasa apa saja!

kereta 2 okeCerpen R Giryadi
aku berjalan sepanjang atap kota

yang ada hanya potongan jiwa

melaju cepat melebihi waktu tersedia

Jakarta sekarang entah ibu kota atau tempat jagal manusia

setiap jam selalu ada yang mati sia-sia

banjir airmata kering seketika.

(J A K A R T A, status facebook Saiful Hadjar, 11/12/2012)

Aku tidak tau, apakah sudah sampai Jakarta atau belum, setelah melompat dari kereta barang yang kutumpangi sebelum benar-benar berhenti di stasiun. Aku tidak tahu, apakah ini stasiun atau sarang monster. Tiba-tiba saja, orang-orang menyerbu seperti kelelawar, menawarkan jasa. Jasa apa saja! Lanjutkan membaca “Jakarta, Sebelum 24 Jam”

Istimewa

Desaku yang Kucinta

Anak-anak muda masih mencintai simbul-simbul nasionalisme. Meski dunia pop mendedah ruang privat mereka, melalui handphone dan gatged lainnya, mereka tak meninggalkan produk-produk budayanya.

stasiun talunCethe R Giryadi

Sebenarnya saya tidak kaget dengan suasana desa –atau tepatnya kelurahan- saya, meski sudah lama tak pernah bertandang ke desa tempat saya dibesarkan. Pemandangan desa yang cukup bersih, rapi, dan indah adalah pemandangan yang biasa di desaku. Maklum desa ini, sejak orde baru, adalah salah satu desa yang sering mendapat penghargaan sebagai desa teladan.

Begitu, turun dari bus, jalan lurus menuju desa, adalah jalan beraspal yang kira-kira dibangun tahun 80-an untuk menyambut pejabat pemerintah pusat hadir di desaku. Saat agustusan seperti ini, bendera, umbul-umbul, dan lampion, menjadi penghias jalan yang dipasang sejak awal bulan Agustus sampai perayaan agustusan berakhir. Lanjutkan membaca “Desaku yang Kucinta”

Istimewa

Liburan

: Entahlah, mungkin saya memang bukan tipe orang yang pandai berlibur dan mencari hiburan. Mungkin saya orang terlalu serius, juga nggak. Saya orang biasa-biasa saja. Terkadang hiburan bagi saya sederhana, bisa nata buku dengan rapi, sudah cukup.

Cethe

Liburan

Saya mungkin orang yang kurang beruntung. Sejak dulu, saya orang yang tak pandai berlibur dan mencari hiburan. Sepanjang apa pun hari libur, paling pol saya hanya nonton telivisi, mendengarkan lagu, membaca buku, ngetik-ngetik, atau bahkan biasanya malah lebih banyak dlosoran di tempat tidur sambil berselancar internet.

Kalaupun toh berlibur ke tempat wisata misalnya, paling saya juga hanya duduk-duduk di warung atau agak keren dikit kafe. Sambil melihat lalu-lalang orang dan sambil merasakan betapa sibuknya mereka untuk mencari hiburan dan menikmati liburan. Lanjutkan membaca “Liburan”

Istimewa

Perempuan di Peron Stasiun

Perempuan itu, seperti menunggu Godot. Dilihatlah layar handphone yang buram dan penuh goresan. Tak ada pesan masuk. Tetapi ia tau, suaminya sedang berada di atas panggung. Dengan suara lantang, tanggannya meremas selembar kertas, dibacalah catatan-catatan pendek tentang hidupnya.

Water_Colour_And_Acrylic_Painting

(1)

Cerbung R Giryadi

Perempuan itu duduk termenung di bangku peron, stasiun kecil pinggir kota. Matanya menatap rel kereta yang menghilang di cakrawala. Rintik hujan dan kabut putih meliputi kotanya yang sepi. Tak jua datang. Sepertinya kereta terlambat. Handphone di genggamanya membisu. Ia buka pesan terakhir suaminya: ‘ini masih di kereta menuju kota A. Saya harus baca puisi disana.’

Perempuan berkerudung hijau jambu itu kembali memandang rel kereta yang memanjang, entah kemana?. Mungkin di ujung rel itu ada tapak suaminya yang tak jadi datang. Tetapi ia masih bersetia menunggu. Anak-anaknya menatap piring-piring kosong. Menunggu ibunya pulang, membawa sebungkus nasi. Menunggu bapaknya pulang membawa sekarung puisi. Stasiun kecil itu masih sepi. Lanjutkan membaca “Perempuan di Peron Stasiun”

Istimewa

Solilokui: Sebuah Pengalaman Berteater

Esai R Giryadi

Terakhir kali saya menyutradarai teater naskah Nyai Ontosoroh yang saya adaptasi dari novel Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer) di gelangang mahasiwa (Gema) Unesa, 27 Juli 2006. Sampai sekarang, saya belum memproduksi teater yang melibatkan banyak pemain dan tim produksi. Tampaknya berat sekali. Banyak rencana-rencana, tetapi selalu saya urungkan di tengah jalan, karena sering saya membayangkan liku-liku proses yang teramat berat yang harus di jalani.Senjakala, Sebelum Dewa-Dewi Tidur, Sengkuni Tak Jadi Mati, Semar KW dan juga beberapa naskah monolog, seperti Retorika Lelaki Tua, Bingkai Kanvas Kosong, Perempuan dalam Jam Weker, Monolog Raja Galau, semua saya persiapkan untuk produksi teater yang melibatkan banyak orang. Tetapi sekali lagi, semua patah di tengah jalan. Dan naskah itu tak pernah tersentuh oleh proses penyutradaraan saya.

Foto sesi latihan, Nyai Ontosoroh (Hikayat Perlawanan Sanikem), produksi Teater Institut Unesa, 27 Juli 2006. Dipentaskan di Gelanggang Mahasiswa (Gema) Unesa.
Foto sesi latihan, Nyai Ontosoroh (Hikayat Perlawanan Sanikem), produksi Teater Institut Unesa, 27 Juli 2006. Dipentaskan di Gelanggang Mahasiswa (Gema) Unesa.

Ada saja halangan (atau –mungkin- tepatnya kemalasan) yang membuat proses produksi itu tidak jalan. Bisa jadi!

Bayangkan, saya sudah menyiapkan naskah drama, seperti; Monumen, Pemilu-an, Terompet Senjakala, Sebelum Dewa-Dewi Tidur, Sengkuni Tak Jadi Mati, Semar KW dan juga beberapa naskah monolog, seperti Retorika Lelaki Tua, Bingkai Kanvas Kosong, Perempuan dalam Jam Weker, Monolog Raja Galau, semua saya persiapkan untuk produksi teater yang melibatkan banyak orang. Tetapi sekali lagi, semua patah di tengah jalan. Dan naskah itu tak pernah tersentuh oleh proses penyutradaraan saya.

Ya, kalau produksi kecil-kecilan dengan sekala untuk internal, memang ada. Tetapi bagi saya itu belum tantangan yang luar biasa. Rasanya, saya tidak seperti ketika masa-masa tahun 1990-an. Energi begitu melimpah dan keinginan berproduksi tak ada yang tak terwujudkan. Mulai dari produksi teater naskah Orang-orang Bawah Tanah (1994) hingga Nyai Ontosoroh (2006) adalah rentang yang menurut saya, begitu menggelegak. Lanjutkan membaca “Solilokui: Sebuah Pengalaman Berteater”

Istimewa

Puisi R Giryadi

kepergianmu telah kutuliskan dalam riwayat perjalanan ini

kelak sungai-sungai membelah jantung, bermuara pada sepi.

Yang Bertamu adalah Ilham, sekumpulan puisi Tengsoe Tjahjono (2013). Diterbitkan SatuKata book@rt publishing, Sidoarjo Surabaya. Tengsoe Tjahjono dikenal sebagai penulis puisi komunikatif. Diksinya tak muluk-muluk. Puisinya seperti air kolam, bening, tenang tapi dalam.

Yang Bertamu adalah Ilham, sekumpulan puisi Tengsoe Tjahjono (2013). Diterbitkan SatuKata book@rt publishing, Sidoarjo Surabaya. Tengsoe Tjahjono dikenal sebagai penulis puisi komunikatif. Diksinya tak muluk-muluk. Puisinya seperti air kolam, bening, tenang tapi dalam.

Pintu yang Terkunci

Puisi R Giryadi

pintumu yang terkunci sedikit demi sedikit terbuka
mengabarkan rahasia yang lamat-lamat tereja.

pintu dengan kunci berkarat serupa wajahmu
yang kau pahat pada dinding kamar dengan lukamu.

aku telah baca catatanmu selarik demi selarik
pada taman yang kau rawat di atas ranjang berkarat.

pada tamanmulah kau tabur benih-benih kenangan
tempat merawat mimpi burung-burung bersarang pulang.

kau tafsir lukamu dengan doa-doa liturgi
pada para gembala kau titipkan lukamu sampai cakrawala.

namun pintumu tak terbuka benar.

kepergianmu telah kutuliskan dalam riwayat perjalanan ini
kelak sungai-sungai membelah jantung, bermuara pada sepi.

Sidoarjo, tanda-tanda hujan Desember 2013

Perempuan  Berambut  Api
Puisi R Giryadi

bilamana aku di beranda ada segumpil wajahmu
menyelinap di aras api yang berkobar antara mata.
wajahmu penuh noda jelaga. rambutmu penuh bara
dari api masa silam.

siapa engkau wahai api yang melintasi luka
pada pematang tubuh renta itu? wajahmu muram
kehitaman duduk sendiri ditepian jendela yang
kacanya retak oleh amarah.

matamu bercerita tentang jaka tarub
yang telah mencuri selendangmu.
air matamu yang bertumbuhan di pipi,
menyembunyikan segala kenangan yang mengeras.

dan rambutmu yang penuh bara api
tak mampu membakar lukamu.
kau masih saja mematung diantara pematang hari.
menunggu selendang itu jatuh dari langit.

kau tutup jendela tubuhmu yang menganga.
darah mengalir perlahan jadi rinai.
sebentar kemudian menetes-netes jadi abu.
abu pembakaran tubuhmu.

Sidoarjo, Desember yang hujan 2013

Pelayaran Perahu Kecil
Puisi R Giryadi

aku hanya perahu kecil  berlayar
pada secawan air mata yang
ngembeng antara harapan dan
kenangan pada pulau-pulau
tempat lelah berserah. tetapi
tanganku tak jua mampu
menulis sepatah dua patah
kata arti pelayaran ini

matamu nanar bagai mercusuar
cahayanya berpendar pendar
menelisik gelap mencari arah benar
tetapi perahuku perahu kecil
tanpa nahkoda. tanpa syahbandar
hanya pada angin ia berkesiar kesiur
menyusur laut kian uzur

kemanakah gerangan laju ini
catatan-catatan lusuh terbengkelai
hanya tinggal ombak yang terus
meninggi. bintang-bintang lari
lintang pukang, jadi petanda
nasib kian meregang
kepergian ini seperti jendela
tanpa kain kordin lusuh
dan bingkainya yang lapuk

begitulah perahuku. kecil tak berdaya
mercurimu yang merem melek
seperti mata naga atau monster laut
geliatnya laksana geledek
menyambar nyambar nyaliku
merunduk punduk seperti bebek
aku terkapar dalam catatan waktu
terkesima pada batas kenangan
dan harapan

ini bukan pelayaran nabi nuh
atau marchopolo atau columbus
tubuhmu penuh hantu dan bajak laut
mencuri sekerat demi sekerat
daging dan memanggangnya
pada sekelebat kabut
tanganku bergetaran menambatkan
sauh pada tubuhmu yang penuh
keluh

taulah sekarang. tubuhmu semacam
puzzel yang tak selesai disusun
perca tubuhmu tercecer
pada dermaga yang kemarin
kau singgahi
disitulah tubuhmu dimutilasi
matamu redup penuh doa yang
tak sempat diberkati

aku hanya perahu kecil dari daun bambu
mampir di dermaga tempat tubuhmu
berserak bersama masalalu
ada bunyi lonceng dan doa litani
dari gereja atau dari tubuhmu yang penuh
tanda salib pada perjamuan kudus
hari ini

Maret, pada senja dan air mata
yang tiba-tiba meleleh 2013

Istimewa

Laki-laki yang Menunggui Bulan

Tetapi, setelah 1000 hari buah percintaan terlarang mereka lahir, tiba-tiba Sumini seperti hilang ditelan ilalang yang meninggi sampai jauh di balik perbukitan. Sumini seperti dibawa pergi purnama, bersama seorang laki-laki pemancing yang kerap kali muncul dengan perahu sampannya.

belajar wacom 19 fbCerpen R. Giryadi

Sejak ditinggal Sumini, beberapa purnama yang lalu, Kodrat menjadi ilalang kering di pinggir telaga. Pada langit, atau pada bulan, ia sering mengadukan hidupnya yang getas. Segetas reranting yang ditinggalkan hujan.

Kodrat menyadari, pohon tak akan tegak berdiri tanpa akar-akar yang menjaganya. Sebuah pohon membutuhkan akar, agar batang, dan reranting tumbuh, menjaga dedaunan bersemi karenanya.

Namun sejak kepergian Sumini, Kodrat tak mampu lagi berdiri tegak seperti pohon mahoni, atau jati yang banyak tumbuh di hutan pinggir desa. Sejak Sumini pergi, hampir-hampir ia seperti ilalang yang betah menunggi senja, sampai bulan memeluknya. Lanjutkan membaca “Laki-laki yang Menunggui Bulan”

Istimewa

Dongeng Burung

blog purple-baby-fairy-in-watercolor2-smallCerpen : R Giryadi

Seandainya aku punya anak, -begitulah kata-kata pertamaku pada istri, suatu malam, di malam kesekian, setelah turun pelaminan sekian tahun yang lalu,- ia akan aku letakkan di atas menara yang tinggi, seperti sarang burung yang bertengger di ranting pohon.

“Ya, biar mereka terhindar dari postulat dunia,” kataku.

Kita akan bersetia terbang, –sambil mengembangkan tangan dan menggerakan turun-naik– mengunjungi anak-anak kita, yang hidup di menara, dekat langit, dekat dengan para malaekat yang menjaganya.

“Biar dia tetap murni. Itulah hakikat kasih sayang orang tua,” bisikku pada istri yang terdiam dalam sunyi. Lanjutkan membaca “Dongeng Burung”

Istimewa

BUIH-BUIH KALI JAGIR

Cerpen R Giryadi

blog buihKepala Kodrat seperti berisi pasir. Sudah jelang siang, rokok dan kopi tak ada disisinya. Darti, istri yang dikawin begitu saja tanpa surat nikah, tak ada di tempat. Matanya nyalang ke seluruh ruang. Tak ada siapa-siapa.

Hanya bangku jebol. Almari kaca pecah. Tumpukan gombal tak dicuci. Kalender usang gambar artis Mandarin pujaannya, terpasang agak miring. Seekor tikus melompat trengginas. Cicak begitu malas bergerak. Suara bising. Panas. Pengap.

“Dasar pemalas!” keluh Kodrat, sembari melempar sarungnya. Lanjutkan membaca “BUIH-BUIH KALI JAGIR”

Lakon Kematian Kodrat

Partiwi meronta-ronta ketika pak Modin memberikan doa, mengatar pemberangkatan jenazah Kodrat. Mbah Cuthik menenangkan Partiwi yang kesurupan. Mbah Cuthik memeperkan tapih ke wajah Partiwi. Tetapi, Partiwi tak berhenti meronta-ronta. Ia tak rela suaminya dikubur hari ini.

f3337e2659e35b57441d3a3c150d196dCerpen R Giryadi

Partiwi meronta-ronta ketika pak Modin memberikan doa, mengatar pemberangkatan jenazah Kodrat. Mbah Cuthik menenangkan Partiwi yang kesurupan. Mbah Cuthik memeperkan tapih ke wajah Partiwi. Tetapi, Partiwi tak berhenti meronta-ronta. Ia tak rela suaminya dikubur hari ini.

“Maafkan aku, Cak. Maafkan. Dia tidak mati. Dia belum mati!” serunya di tengah hening cipta para pelayat.

“Sudahlah relakan. Biar dia tenang di kuburan,” kata Yu Pon dengan nada bergetar. Kemudian ia menyapu latar sampai di ujung gang dengan sapu lidi, mulutnya komat-kamit merapat doa; “padhanga dalane, jembara kubure…”

Keranda jenazah bergerak. Partiwi histeris. Tangan menggapai-gapai, mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata.

Para pelayat itu seperti sekawanan burung kondor, menggondol jasad Kodrat melesat ke kuburan. Keringat Partiwi menetes-netes. Matanya yang merah saga, terbayang Sukidi, jejaka tua dan pembual, yang membuat remuk rumah tangganya. Lanjutkan membaca “Lakon Kematian Kodrat”

puisi

Puisi-puisi
R Giryadi

karena membaca puisi tak harus hari sabtu dan minggu. karena membaca puisi tak harus di koran atau buku puisi.. 😀

OBITUARI JADAH

Puisi: R Giryadi

biarlah anjing-anjing menggonggong
perjalanan ini teramat suci untuk sekadar
meredakan ketakutan kita atas sejarah
yang mengekal pada batu-batu
atau menjadi batang-batang kayu
tempat kita rajah pepatah-pepatah lama
meski pada daun pisang itu bau wanginya
menembus tulang-tulang dan harapan
demi harapan menjadi pintu utama
sebelum kita menyelubungkan tubuh
pada tanah-tanah tandus tempat
hara memamah sisa hidup.

biarlah kita menjadi santapan
perjalanan ini teramat suci untuk dibenci
mari kita nikmati gurihnya saja
perjalanan ini masih terasa nikmat
meski tubuh kita terasa kelu
dan palu-palu itu terus mendedah
mengeja sejarah sendiri tentang perjalanan
tubuh kita yang terasa pejal
dan kita tak bisa mengurai satu demi satu
dari mana asal muasal cita rasa ini
sebelum kita kembali pada kitab-kitab
yang ditulis para pejalan.

mari kita gelar tikar pandan ini
kita sambut para tetamu
dengan sepethuk dua pethuk oleh-oleh
di sanalah kita titipkan catatan-catatan
yang mengharu biru perjalanan ini
lalu lihatlah sungai-sungai deras membanjir
menggenangi rumah-rumah
dan tiba-tiba kita teringat tentang anjing
teringat tentang kitab-kitab kuno
di dalamnya tertulis nama-nama
tapi kita lupa menambal kembali
ingatan kita yang tergadai.

2016

MADUMONGSO

Puisi: R Giryadi
pada setetes madu itu, mari kita cecap ingatan
tentang musim yang begitu panjang menjerat kita
dalam tungku atau dalam setoples rasa sakit
sebelum semua berakhir dimangsa waktu dan jalan-jalan
kembali sepi.

lalu kita mulai membuka tabir pada ujungnya
hidup berasa manisnya madu
kita hikmatkan jalan-jalan lempeng
dan kita lupa pada sisa-sisa yang membekas
pada kertas tempat kita mencatat perjalanan.

tetapi kita selalu percaya itulah ingatan kita
meski dalam segulungnya hanya ada satu cita rasa
kita melupakan butir demi butir air mata
dan percakapan-percakapan yang tak tuntas
pada piring itu kita tumpahkan rasa rumangsa.

2016

OPAK GAMBIR

Puisi: R Giryadi
cinta itu terasa kering
tetapi gurih dan renyahnya menambah cita rasa kangen
ada sisa-sisa yang membuncah dari mulutnya yang girang
tetapi siapa yang mau menyelematkan rempah-rempah
cinta yang garing itu?

kesetiaan itu bijih gambir
pada masa balikmu kau akan nikmati getirnya gambir
dan sepatnya sirih meski di pundakmu berselempang sampur
menguji kesetian para kesatria tampan
menyambut sampurmu penuh nafsu.

cinta itu seperti gagak
sembunyi pada rimbun beringin lalu deru abu pembakaran
terasa melangit pada sisa peperangan yang belum usai
cintanya seperti alang-alang merimbun pada kemarau
dan berhamburanlah beribu tepung
menghunus perlawanan.

luweng itu ada dua jalan api
jalan yang membakar dan jalan yang menghangatkan
kesejatian kayu ia rela menjadi abu
lalu pergi sebagaimana asap membumbung tak bersisa
ciumlah aroma kayu manis karena dalam cinta sejati
tak ada pelamis.
2016

 

Kali Mas, Kali Jagir

(Mikir Mas, aja kenthir..)
Cerpen R Giryadi

Setelah ludruk cak Sodik di Wonokromo -tak jauh dari terminal Joyoboyo- tak lagi nggedhong, Kodrat hanya seperti patung kota yang tak terurus. Saban hari pekerjaannya hanya duduk di atas becak yang disewa dari Ji Mukti (Haji Mukti), juragan becak yang tinggal di Pulo Wonokromo.

kali-jagir

Setelah ludruk cak Sodik di Wonokromo -tak jauh dari terminal Joyoboyo- tak lagi nggedhong, Kodrat hanya seperti patung kota yang tak terurus. Saban hari pekerjaannya hanya duduk di atas becak yang disewa dari Ji Mukti (Haji Mukti), juragan becak yang tinggal di Pulo Wonokromo. Saban hari, kalau tidak hanya jadi patung di atas becak, di sudut jalan Pulo Wonokromo, ia mendem di dekat bantaran kali Jagir.

Dulu sewaktu masih ada ludruk, Kodrat masih bisa jualan rokok, cokrik, dan abonemen becak. Biasanya, jelang subuh, Wartini (Wartono) si tandak ludruk minta diantar pulang ke Bendulmrisi. Tapi tak jarang, kalau Wartini tidak nandak,  ia tak terima bayaran sepeser pun. Meski begitu, Kodrat mau saja.

Kalau Wartini sedang dapat ‘rezeki’, Kodrat dapat persenen, 5-10 ribu, bayar becaknya 4 ribu. Total bisa 9 ribu atau 14 ribu. Uang sebanyak itu, biasanya habis buat mel-mel-an dengan kawan-kawannya seprofesi, beli cokrik di Karah. Kalau sudah terkumpul, biasanya mereka nyokrik di becak, sambil nunggu penumpang.

Tetapi, sekarang, nunggu penumpang seperti nunggu durian runtuh. Apalagi sejak terminal bus pindah ke Bungurasih, ditamabah lagi semakin banyak orang punya sepeda motor, becaknya hanya jadi pajangan di pojok pertigaan Pulo Wonokromo. Sehari dapat satu penumpang seperti dapat anugerah yang tiada tara. Pun begitu, Kodrat percaya dengan rezeki. Ia tak pernah beralih pekerjaan dari tukang becak, meski saban hari ia nunggak uang sewa becak.

Pernah suatu hari ia ditawari pekerjaan oleh orang misterius. Tapi ia tidak mau menerima. Padahal pekerjaannya sangat mudah. Saban hari ia disuruh ‘melapor’, siapa saja teman-temannya yang suka minum cokrik. Terus di mana saja tempat penjualan cokrik. Hanya itu. Bayarannya per laporan.

Kodrat menolak. Alasannya sederhana. Yang dilaporkan adalah kawan-kawannya sendiri. Dan lebih penting, ia sendiri suka cokrik.

Kon iku longor. Begitu kok tidak diterima. Seharusnya diterima, uangnya buat mabok bareng,” kata Sokran, ketika mendengar cerita Kodrat.

“Hellleh…nggabluk. Bohong. Kamu mabok ta…?!” Timin, preman pasar maling, tidak percaya dengan cerita Kodrat. Ia menganggap cerita Kodrat hanya igauannya ketika mabok.

Memang, sejak, ludruk cak Sodik, bahkan sejak cak Sodik sudah tiada, kondisinya memang malik grembyang. Wartini sudah tak ketahuan rimbanya. Kata Timin, Wartini sudah alih profesi.

“Sudah sering mangkal di Irba…” kata Timin, ketika tegakan terakhir membasahi kerongkongannya.

Kodrat sedikit terprovokasi.

“Hhhhh..kamu ngesiri Wartini…?” ledek Timin.

Sokran melerai agar mabok cokriknya damai-damai saja. Untung sekali tak berlanjut. Tapi siapa tahu isi hati orang?

Sejak gedong ludruk itu sudah digusur zaman, Kodrat seperti patung kota, teronggok tak terurus. Pulang ke istri simpanan, pasti akan didamprat habis-habisan karena tidak bawa uang belanja. Sementara itu, utang sewa becak ke Ji Mukti, semakin menumpuk. Mau tidak mau Kodrat harus memutar otak. Tapi meskipun otak sudah diputar sampai nggliyeng, tak ditemukan jalan keluar.

Kalau sudah begitu, penyelesaiannya dengan mabok cokrik. Kalau tak ada uang, nyopet atau njambret, paling tidak, malak orang lewat. Tak jarang kehidupannya yang karut marut itu disandarkan pada Wartini, si tandak ludruk, yang ternyata sangat mengerti penderitaan Kodrat.

***

Ini malam kesekian, setelah tiga kawan Kodrat, -Bendol, Ateng, Kunting- tewas tercekik cokrik oplosan. Malam ini ia tiduran di becak dengan sarung bututnya. Hanya beberapa motor dan mobil saja lalu lalang di jl. Wonokromo. Sudah jam 12 Kodrat tak bisa tidur. Ia hanya klesikan di atas becaknya.

Kepalanya pusing. Sudah sekian hari tak nyokrik. Selain tak ada uang, ia masih terbayang mengingat tiga kawannya yang tewas. Sementara, ia tak berani pulang ke dua istri simpanannya, karena tak punya uang sepeserpun.

Wartini, pelanggan tetapnya, juga sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Konon, kata Timin, Wartini buka salon di Karangrejo. Katanya Timin, di Karangrejo itu Wartini dibangunkan salon oleh ‘gendakannya’.

Kodrat tau, tak mungkin ia bisa mengontrakan Wartini untuk usaha salon. Sementara ia sendiri, hutangnya pada Ji Mukti, menumpuk gara-gara tak pernah setor sewa becak.

“Walah…wong jelas Wartini itu lanang kok masih mok pikir to Drat?” kata Timin yang menggoda Kodrat ketika curhat soal hilangnya Wartini.

Sejak Wartini resmi jadi gendakaan orang lain, dan dua istrinya simpanannya juga memilih berpisah, Kodrat seperti becak kehilangan rem. Dan malam ini pikirannya hanya satu bagaimana bisa menemukan Wartini. Betapa pun, Wartini ketika masih nggedhong dengan cak Sodik, ia mau menemaninya lahir batin dengan segala beban penderitaannya. Sampai-sampai demi Wartini, ia tak berani narik penumpang. Meski hari itu belum tentu Wartini ngasih uang abonemen.

“Sekarang kok enak-enakan gendakan sama orang lain!”

Tiba-tiba Kodrat bangun dari jok becak. Pikirannya yang buntu, segera ia putar. Ia bangun dan mengayuh becaknya menuju stasiun Wonokromo. Disana ia pinjam celurit, Timin, preman pasar ‘maling’ tak jauh dari stasiun.

“Buat apa, kok pinjam celurit?”

Ngrampok…!” kata Kodrat singkat.

Kon, jangan gila, Drat!” seru Timin.

Kodrat bergeming. Kodrat memasang kerpus dan kaos tangan bututnya. Ia kayuh becak  menuju Karangrejo. Ia mengayuh dari gang ke gang. Jalanan sepi. Di depan salon kecil bertuliskan Wartini-Wartono Indah Salon, Kodrat mengerem becaknya. Ia ambil celurit yang disengkelitkan di jok becak. Ia yakin ini salon Wartini.

Tiang listrik dipukul dua kali. Kodrat mengendap-endap. Ia bongkar pintu samping salon berukuran 4×6 itu. Celurit yang dihunusnya sedikit berkilat diterpa cahaya lampu 5 watt. Tubuh yang tidur pulas ia tikam 3 sampai 4 kali. Kodrat mengeruk isi almari kecil di atas tempat tidur, tubuh yang bersimbah darah.

***

Jelang subuh, Kodrat sampai di stasiun Wonokromo. Ia menyusuri rel kereta mencari Timin. Beberapa lelaki hidung belang masih hilir mudik usai buang ‘hajat’. Di sudut rel, dekat persimpangan kereta, tiba-tiba langkah Kodrat terhenti.

“Drat….!” sebuah suara yang dikenalnya menusuk sepi. Kodrat menoleh. Di keremangan ada siluet tubuh yang dikenalnya.

“Wartini..?”

“Tak cari di pangkalan, kok gak ada. Kata Timin sudah punya gendhaan baru. Bener ta..?” kata Wartini. Kodrat tak menjawab. Batinya campur aduk.

“Katanya punya salon di Karangrejo…?” tanya Kodrat sambil duduk di rel kereta.

“O…itu punya adikku. Dia pingin kuliah. Terus tak bikinkan usaha salon, biar untuk biaya kuliahnya. Biar gak jadi wandu, seperti cacaknya ini,” kata Wartini yang membikin jantung Kodrat pecah.

“Lumayan, Cak, punya usaha sedikit. Ludruk sudah gak laku. Gak lagi ada yang nanggap. Usaha salon masih mending, sehari bisa dapat 50 ribu,” cerita Wartini antusias.

Kodrat membisu. Ia merasa hatinya remuk dibakar cemburu.

“Ini ulah Timin…” batin Kodrat.

“Ayo, Cak, antar pulang. Malam ini sepi. Gak ada pelanggan.”

Kodrat mengayuh becaknya begitu lambat. Wartini duduk di depan sambil membenahi make up-nya. Sementara masjid dekat Pasar Wonokromo, mengumandangkan tarqim jelang subuh.

“Kok kelihatan lemas to, Cak?”

Dingin. Suara adzan subuh merambat lirih di kejahuan, ketika becak Kodrat sampai pada perempatan terakhir menuju kontrakan Wartini. Tiba-tiba becak Kodrat terhenti. Beberapa orang tampak berlarian.

“War…adikmu, War…!” teriak Sukidi.

“Kenapa adikku?” tanya Wartini sebelum turun dari becak Kodrat.

“Lihat  sendiri…” seru Sukidi.

Wartini hendak menerobos gerombolan orang, tapi dilarang. Wartini hanya melihat dari balik jendela. Sebuah bercak-bercak darah menempel di kaca salon. Wartini pingsan.

Kodrat menyelinap di antara kerumunan orang-orang. Ia mengayuh becaknya dengan sekuat tenaga meninggalkan salon Wartini yang bersimbah duka.

***

Ketika fajar memerah, di tepian kali Jagir, Kodrat sudah tersungkur karena mabuk. Bersama Timin ia sudah habiskan 2 paloma dioplos suplemen. Pada Timin Kodrat cerita kalau telah merampok. Tetapi dasar Timin sudah ‘miring’ otaknya, dia menjawab sambil berseloroh; “Pasti yang kon rampok Ji Mukti yang kikir itu,”

“Dia pantas kalau kamu rampok,” kata Timin.

“Tak tebas 5 kali. Moncrot darahnya…”

“Celuritku…tajam?”

“Langsung tewas!”

“Mana celuritnya?”

“……?” Kodrat agak tergagap. Ia tak tak tau dimana celuritnya berada.

Jalanan mulai menderu. Sampai sore, Timin dan Kodrat masih dlosoran di bantaran kali Jagir.

***

Sampai hari ketujuh sepeninggalan adiknya, Wartini masih berduka. Sementara Kodrat seperti hilang dari Pulo Wonokromo. Sebelum menghilang Kodrat sempat pamit ke Wartini kalau ingin pulang ke desa. Bahkan, Wartini nyangoni  25 ribu.

Dan di siang yang panas, Timin yang sedang mangkal di depan stasiun Wonokromo, diciduk polisi. Di kantor polisi, sudah ada Wartini.

“Sampeyan kok tega yo Cak, mateni adikku!” radang Wartini.

Timin tak mengerti. “Membunuh siapa?”

Timin ditunjukan barang bukti sebilah celurit. Darah Timin menciut. Sisa mabok semalam lenyap seketika.

“Ini memang celurit saya, tapi bukan saya pembunuhnya,” kata Timin. “Celurit ini pernah dipinjam Kodrat?” serunya lagi.

Tapi polisi punya bukti yang menguatkan. Ia menunjukan gambar sidik jari. Dan gambar sidik jari itu persis milik Timin. Timin tak berkutik.

Wartini hanya tertegun. Sementara tubuh Timin bergetar memendam bara dendam.

 

Surabaya, 2014

Cerita Kedasih

Cerpen R Giryadi

“Itu burung apa, Mak?” tanya Mimin pada Kedasih, -emaknya-, ketika sore memerah jingga.

Kedasih pun bercerita tentang burung-burung yang sering nangkring di pohon tak jauh dari rumah Tuannya. Itulah hiburan yang bisa menambal sedih anaknya karena saban hari harus dikurung dalam kamar emaknya.

ilustrasi-cerpen-cerita-kedasih-dyan-anggrainiCerpen R Giryadi

“Itu burung apa, Mak?” tanya Mimin pada Kedasih, -emaknya-, ketika sore memerah jingga.

Kedasih pun bercerita tentang burung-burung yang sering nangkring di pohon tak jauh dari rumah Tuannya. Itulah hiburan yang bisa menambal sedih anaknya karena saban hari harus dikurung dalam kamar emaknya.

Kamar yang berukuran 3 X 4 itu, bekas gudang Tuannya. Gudang butut itu, hanya terdiri dari satu dipan dan almari yang sudah pecah kacanya. Sebuah televisi yang separuh gambarnya hilang,  tanpa remote. Di satu sisi tembok kamar ada jendela menghadap ke jalan, sehingga Mimin bisa melihat pokok pohon trembesi yang tumbuh berjajar-jajar sepanjang jalan depan rumah Tuannya.

Lewat jendela itulah, Mimin melihat, betapa di luar sana, anak-anak sebayanya asyik bermain. Sementara ia harus bekerja membanting tulang, bersama emaknya. Ia hanya bisa melihat dari balik jendela dengan tatapan mata berbinar. Lanjutkan membaca “Cerita Kedasih”